Sabtu, 15 Desember 2012

“KUDA MENARI KHAS SUKU MANDAR”

( Lomba Karya Tulis Nusantara )




 “KUDA MENARI KHAS SUKU MANDAR
Suatu hari, disaat matahari yang semula bersembunyi, kini telah muncul dan memancarkan kembali sinarnya, hari yang tadinya gelap kini berubah menjadi terang,  suasana yang tadinya sepi, kini berubah menjadi ramai, suara kicauan burung pun terdengar merdu di telinga ‘Kaco’ yang langsung bangun dari tidurnya lalu meracik secangkir Kopi hitam hangat untuk menghangatkan tubuhnya yang terasa dingin di pagi yang cerah itu, setelah itu Kaco lalu duduk diatas kursi rotan yang ada di bawah kolom rumahnya yang berdindingkan bambu, dan beralaskan butiran-butiran pasir, dan menikmati Kopi hitam buatannya sambil melihat suasana yang ada di tanah Mandar.
Kaco, itulah namanya, Kaco adalah anak yang lahir pada saat ibunya melahirkan, hehehe, Kaco lahir tanpa melalui upacara adat, Kaco merupakan anak pertama dari bersaudara. ‘Cicci’ adalah adiknya, seorang bocah perempuan yang cantik dan murah senyum dan masih berumur sepuluh tahun. Kaco dan adiknya Cicci tinggal di tanah Mandar, tepatnya di daerah Polewali Mandar. Mereka tinggal bersama Kama’ ( bahasa Mandar-Bapak ), dan Kindo’nya ( bahasa Mandar-Ibu). Kaco dan adiknya Cicci adalah pelajar yang masih duduk dibangku SD.
Kaco dan adiknya Cicci, adalah anak yang soleh dan soleha, bagaimana tidak ? setiapa harinya, mereka tidak lupa akan kewajibannya sebagai penganut agama Islam, yaitu sholat lima waktu dan setiap mereka selesai sholat mereka langsung mengambil kitab suci agama Islam yaitu, Al-Qur’an, lalu membacanya dengan suara yang sangat merdu dan bagus, mengalahkan suara seorang penyanyi yang belakangan ini naik daun ( karena ulat telah dibasmi ) yaitu ‘Justin Beiber’.
Seperti yang telah dikatakan Kindo’Mina ( ibu Kaco dan Cicci ) kepada mereka.
“Eeee… Kaco…. Ooo… Cicci, mua mambacao Qur’an, da sangga’ mubacai, parallu toi tu’u dipiamalkan i ( dalam bahasa Mandar berarti Kaco, Cicci kalau membaca Al-Qur’an, itu tidak hanya dibaca saja, tapi perlu juga untuk diamalkan)”. Kaco dan adiknya Cicci pun mengikuti perkataan dari kindo’ (ibu)  mereka itu.
Ketika matahari mulai menanjak, cuaca pun terasa panas, hingga membuat keringat Kaco meluncur deras, saat itu Kaco sedang membantu kama’nya ( Bapaknya ) berjualan. Bapak mereka, adalah seorang penjual ikan keliling yang setiap harinya naik-turun gunung untuk menjual ikan.
“Pip.. Pip.. Pippip” suara clacksound motor bapak Kaco’ yang dibunyikan saat menjual ikan.
Kaco lalu berteriak dengan suara yang sangat keras
“Bau.. ee… bau.. e ( bahasa Mandar bau, berarti Ikan ). Tak berselang lama kemudian, ada seorang pengusaha besar yang ingin memborong semua ikan bapak Kaco.
“Kandi  ‘panggilan untuk orang yang lebih mudah’, sa’apa ri’e baummu mesa’ ? ( bahasa mandar-Adik, berapa harga seekor ikan mu ? ). Tanya pengusaha itu, sambil melihat ikan yang dijual bapak Kaco.
“ Lima ribu’ mesa ( lima ribu seekornya ), puang ‘panggilan orang yang lebih tua’. Jawab bapak Kaco sambil tersenyum.
“ mangngapa na’ maseppo tendi’ kandi ? ( kenapa murah sekali adik ). Kata si pengusaha yang terlihat sedang bercanda.
“hehehehe… ! Bapak Kaco hanya tertawa dan menggaruk kepalanya.
“Ya’ Ualli nasammi tu’u kandi !” ( kalo begitu saya beli semua, adik ) si pengusaha itu menawar semua ikan dagangan bapak Kaco.
“  Aaa ? tongang bandi’ puang, mangino-ngino’o kapang puang ! ( sungguh puang ? ataukah puang hanya bercanda !). jawab bapak Kaco yang kaget, dan seakan tidak percaya.
“ iyo kandi, tongang’nga, ndanga mangino-ngino” ( iya adik, saya bersungguh-sungguh, dan saya juga tidak bercanda ). Kata Si pengusaha, sambil mengeluarkan dompet dari jeansnya, dan lalu memberi uang kepada Bapak Kaco
“terima kasih puang”. Kata Bapak Kaco yang senang, karena dagangan ikannya telah habis terjual. Mereka pun memutuskan untuk pulang.
Disisi lain, adik kaco yaitu Cicci, sedang membantu ibunya, untuk berjualan di Pasar. Ibu mereka, adalah seorang pedagang sayur. Saat pengunjung pasar mulai ramai, seorang ibu memakai baju berwarna merah  pun berjalan menuju tempat ibu Cicci berjualan.
“Ibu, meloa ma’alli’ doayu, bu ! ( ibu, saya ingin membeli sayuran ). Kata Ibu yang memakai baju warna merah itu.
“Doayu, apamo iting melo ialli bu ? ( sayur apa saja, yang ingin ibu beli ). Jawab ibu Cicci.
karena ibu berbaju merah tadi ingin mengadakan sebuah acara pernikahan, maka ibu itu pun membeli setengah dari seluruh sayuran yang dijual Ibu Kaco dan Cicci.
Setelah hari telah memasuki sore, adzan tanda sholat ashar pun dikumandangkan, Cicci dan ibunya pun kembali kerumah., lalu mengambil air wudhu, begitu pun dengan Kaco, serta bapaknya, setelah mereka berwudhu, mereka pun melakukan sholat Ashar secara berjamaah. Setelah sholat, seperti biasanya Kaco dan Cicci lalu melanjutkan baca’an Al-Qur’an mereka yang hampir sampai pada akhir.
Kaco dan Cicci pun selesai membaca Al-Qur’an, mereka lalu dipanggil Bapak dan Ibunya yang telah menuggu diruang tamu, keduanya lalu bergegas ke ruang tamu.
“ Seperti janji bapak nak !, jika bapak dan ibu mendapatkan rezeki yang cukup banyak, bapak dan ibu akan memberikan kalian sebuah hadiah! Kata Bapak mereka.
“ hadiah apa itu kama (bapak) ?”.tanya Kaco yang bingung.
“ Bapak dan Ibu akan menamatkan baca’an Al-Qur’an kalian, dengan mengikutkan kalian di acara khatamul Qur’an, kalian akan messawe’ ( bahasa mandar ). Kata Bapak mereka, sambil membelai kepala Kaco dan Cicci.
“terima kasih kama’ itu adalah hadiah yang sangat istimewa !. ucap Kaco, lalu memeluk kedua orang tuanya.
Messawe’ totammaq (Bahasa Mandar), adalah penamatan masssal dan khatamul Qur’an yang dimana setiap orang yang mengikuti acara tahunan terbesar yang diselenggarakan olah masyarakat Mandar pada saat memperingati hari kelahiran Nabi besar Muhammad SAW (maulid) itu harus berpakaian Haji khas Mandar.
Keesokan harinya, yaitu tanggal 12 juni 2012, yang merupakan hari memperingati kelahiran Nabi besar Muhammad SAW (maulid). Kaco dan adiknya Cicci lalu berpakaian adat khas suku Mandar, Kaco yang memakai baju terusan putih dan pada kepalanya diikatkan kain beserta aksesorisnya, dan tidak lupa memakai Kacamata Hitam, sehingga Kaco pun berpenampilan layaknya seorang bangsa Arab. Sedangkan Cicci, memakai baju adat suku Mandar, memakai kain bercorak dikepala, dan juga tidak lupa memakai Lipaq Sa’be ( sarung khas suka mandar yang sangat lembut ), beserta aksesorisnya, seperti anting yang terbuat dari kapas, gelang dan kalung yang besar ).
Setelah berpakaian, Kaco pun menjadi Makappa (bahasa mandar-Gagah) dan Cicci menjadi Malolo (bahasa mandar-Cantik), Bapak dan Ibu mereka lalu membawanya ke Lapaangan Gaswon, tempat berlangsungnya Khatamul Qur’an. Acara Khatamul Qur’an itu diikuti dari 230 dari tiap-tiap desa yang ada di Polewali Mandar. Sesampainya di lapangan, Bapak Kaco lalu mendaftarkan  kedua anaknya ke salah satu panitia acara tersebut. Setelah Kaco dan Cicci terdaftar, mereka lalu dipersilahkan untuk memilih salah satu kuda dari 230 kuda tersebut, Kaco memilih kuda yang berwarna hitam, sedangkan Cicci memilih Kuda yang berwarna putih.
Kuda yang hendak ditunggangi mereka adalah Sayyang Patu’du (bahasa Mandar- Kuda patu’du ) , Sayyang Patu’du merupakan kuda yang sudah terlatih untuk mengangguk-anggukkan kepalanya selaras dengan kakinya dan seirama dengan pukulan rebana yang diselingi pula dengan kalinda’da (sejenis pantun berbahasa mandar).
Siang hari terik membakar muka hingga semakin malotong (hitam-bahasa Mandar), orang-orang dari gunung pun turun dan warga masyarakat disekitar lapangan tersebut berdatangan untuk menyaksikan acara tersebut.
  Acara pun dimulai, Kaco dan Cicci pun naik ke kuda yang telah mereka pilih masing masing, Kaco didampingi Bapaknya, sedangkan ibunya mendampingi Cicci. Semua kuda yang ditunggangi setiap peserta, keluar dari lapangan, tanpa terkecuali. Parawana ( pemain rebana ) pun memukul rebananya.
“Dung takakaka dung takakakaka dung, takakata” bunyi pukulan rebana terdengar, sehingga membuat Kuda yang di naiki semua peserta yang tadinya diam, kini bergerak layaknya sedang menari, Kuda itu mengangguk-anggukkan kepalanya dan menekuk kakinya keatas secara berganti ganti yang seirama dengan pukulan rebana yang dipukul oleh  parawana tersebut.
Beberapa lama kemudian parawana tiba-tiba berhenti memukul rebananya dan Kuda yang ditunggangi oleh Cicci, adik Kaco jiga berhenti menari, karena seorang  pakkalinda’da (pembaca pantun), melanturkan pantunnya ke Kuda yang ditunggangi oleh Cicci, yang berbunyi :
Nadiondoq-i I Cicci
Na di damo-damoi
Tuo marendeng
Diang bappaq dalleq-na.
(
Bahasa Mandar- Diayun puteri kesayangan
Dengan belaian kasih sayang
Panjang umur
Semoga mendapat rezeki).

            setelah pakalinda’da selesai melanturkan kalinda’danya , parawana pun melanjutkan aksinya, dengan memukul kembali rebananya, hingga membuat Kuda yang tadinya berhenti menari, menjadi menari kembali.
kepala kuda itu pun kembali mengangguk-angguk seleras dengan gerakan kakinya dan seirama dengan bunyi yang dihasilkan rebana itu.
Selang beberapa menit kemudian, parawana kembali berhenti memainkan rebananya,dan membuat Kuda yang ditunggangi Kaco berhenti menari, seorang pakkalinda’da lalu melanturkan pantunya :
Landuri diong I Kaco
Massoppoq patti loqbang
Meloq disanga
Pole ditana Jawa
(bahasa Mandar- Lewat jalan si Kaco
Memikul peti kosong
Mau dikata
Datang dari pulau Jawa).
Setelah kalingda’da, parawana pun kembali memukul rebananya, “Dung takakaka dung takakakaka dung, takakata”, penonton yang memadati sepanjang jalan, lalu bertepuk tangan sambil tertawa, melihat aksi pakkalinda’da dan parawana yang sangat kocak dan memang mengundang tawa’, sampai-sampai Kaco dan Cicci yang berada diatas kuda pun tersenyum lebar, melebihi lebar senyum Kuda yang mereka tunggangi.
Acara pun selesai, Peserta Khatam Al-Qur’an pun kembali memasuki lapangan, para peserta pun turun dari atas kuda’. Kaco dan Cicci turun dari Kuda yang mereka tunggangi masing-masing, lalu mereka memeluk kedua orang tuanya.
“Kama’Kindo’, inilah hadiah yang paling istimewa dan aku akan menjadikannya sebagai pengalaman yang sangat indah!”. Kata Kaco, sambil meneteskan air mata bahagia.
“Iya, anak, kalian berhak mendapatkan itu”. Kata Bapak mereka, sambil memeluk kedua anaknya.
Berbiacara tentang Pesta Adat Sayyang Pattudu, adalah pesta yang diadakan dalam rangka untuk mensyukuri anak-anak yang khatam (tamat) Al-Qurâan. Bagi warga suku Mandar, tamatnya anak-anak mereka membaca 30 juz Al-Quran merupakan sesuatu yang sangat istimewa, sehingga perlu disyukuri secara khusus dengan mengadakan pesta adat Sayyang Pattudu. Pesta ini biasanya digelar sekali dalam setahun, bertepatan dengan bulan Maulid Awwal (kalender Hijriyah). Pesta tersebut menampilkan atraksi kuda berhias yang menari sembari ditunggangi anak-anak yang mengikuti acara tersebut.
Bagi masyarakat Mandar, khatam Al-Qurâan dan acara adat Sayyang Pattudu memiliki pertalian erat antara satu dengan lainnya. Acara ini tetap mereka lestarikan dengan baik, bahkan masyarakat suku Mandar yang berdiam di luar Sulawesi Barat dengan sukarela akan kembali ke kampung halamannya demi mengikuti acara tersebut. Penyelenggaran pesta adat ini sudah berlangsung cukup lama, tetapi tidak ada yang tahu pasti kapan pertama kali dilaksanakan. Jejak sejarah yang menunjukkan awal pelaksanaan kegiatan sampai sekarang juga belum terdeteksi oleh para sejarawan dan tokoh masyarakat.
Puncak acara khatam Al-Qurâan dengan menggelar pesta adat Sayyang Pattudu memiliki daya tarik tersendiri. Acara ini diramaikan dengan arak-arakan kuda mengelilingi desa yang dikendarai oleh anak-anak yang telah menyelesaikan khatam Al Quran. Setiap anak mengendarai kuda yang sudah dihias sedemikian rupa. Kuda-kuda tersebut juga sudah terlatih untuk mengikuti irama pesta dan mampu berjalan sembari menari mengikuti iringan musik, tabuhan rebana, dan untaian pantun khas Mandar yang mengiringi arak-arakan, itulah sebabnya Kaco sangat bersyukur tinggal di Tanah Mandar.
“ SAYA BANGGA MENJADI ORANG MANDAR” DAN
“ SAYA BANGGA, KARENA KUDA YANG BISA MENARI, HANYA ADA DI TANAH MANDAR”
kata Kaco, sambil berteriak di hadapan kedua Orang Tuanya.

SELESAI


Tidak ada komentar:

Posting Komentar