Sabtu, 15 Desember 2012

“KUDA MENARI KHAS SUKU MANDAR”

( Lomba Karya Tulis Nusantara )




 “KUDA MENARI KHAS SUKU MANDAR
Suatu hari, disaat matahari yang semula bersembunyi, kini telah muncul dan memancarkan kembali sinarnya, hari yang tadinya gelap kini berubah menjadi terang,  suasana yang tadinya sepi, kini berubah menjadi ramai, suara kicauan burung pun terdengar merdu di telinga ‘Kaco’ yang langsung bangun dari tidurnya lalu meracik secangkir Kopi hitam hangat untuk menghangatkan tubuhnya yang terasa dingin di pagi yang cerah itu, setelah itu Kaco lalu duduk diatas kursi rotan yang ada di bawah kolom rumahnya yang berdindingkan bambu, dan beralaskan butiran-butiran pasir, dan menikmati Kopi hitam buatannya sambil melihat suasana yang ada di tanah Mandar.
Kaco, itulah namanya, Kaco adalah anak yang lahir pada saat ibunya melahirkan, hehehe, Kaco lahir tanpa melalui upacara adat, Kaco merupakan anak pertama dari bersaudara. ‘Cicci’ adalah adiknya, seorang bocah perempuan yang cantik dan murah senyum dan masih berumur sepuluh tahun. Kaco dan adiknya Cicci tinggal di tanah Mandar, tepatnya di daerah Polewali Mandar. Mereka tinggal bersama Kama’ ( bahasa Mandar-Bapak ), dan Kindo’nya ( bahasa Mandar-Ibu). Kaco dan adiknya Cicci adalah pelajar yang masih duduk dibangku SD.
Kaco dan adiknya Cicci, adalah anak yang soleh dan soleha, bagaimana tidak ? setiapa harinya, mereka tidak lupa akan kewajibannya sebagai penganut agama Islam, yaitu sholat lima waktu dan setiap mereka selesai sholat mereka langsung mengambil kitab suci agama Islam yaitu, Al-Qur’an, lalu membacanya dengan suara yang sangat merdu dan bagus, mengalahkan suara seorang penyanyi yang belakangan ini naik daun ( karena ulat telah dibasmi ) yaitu ‘Justin Beiber’.
Seperti yang telah dikatakan Kindo’Mina ( ibu Kaco dan Cicci ) kepada mereka.
“Eeee… Kaco…. Ooo… Cicci, mua mambacao Qur’an, da sangga’ mubacai, parallu toi tu’u dipiamalkan i ( dalam bahasa Mandar berarti Kaco, Cicci kalau membaca Al-Qur’an, itu tidak hanya dibaca saja, tapi perlu juga untuk diamalkan)”. Kaco dan adiknya Cicci pun mengikuti perkataan dari kindo’ (ibu)  mereka itu.
Ketika matahari mulai menanjak, cuaca pun terasa panas, hingga membuat keringat Kaco meluncur deras, saat itu Kaco sedang membantu kama’nya ( Bapaknya ) berjualan. Bapak mereka, adalah seorang penjual ikan keliling yang setiap harinya naik-turun gunung untuk menjual ikan.
“Pip.. Pip.. Pippip” suara clacksound motor bapak Kaco’ yang dibunyikan saat menjual ikan.
Kaco lalu berteriak dengan suara yang sangat keras
“Bau.. ee… bau.. e ( bahasa Mandar bau, berarti Ikan ). Tak berselang lama kemudian, ada seorang pengusaha besar yang ingin memborong semua ikan bapak Kaco.
“Kandi  ‘panggilan untuk orang yang lebih mudah’, sa’apa ri’e baummu mesa’ ? ( bahasa mandar-Adik, berapa harga seekor ikan mu ? ). Tanya pengusaha itu, sambil melihat ikan yang dijual bapak Kaco.
“ Lima ribu’ mesa ( lima ribu seekornya ), puang ‘panggilan orang yang lebih tua’. Jawab bapak Kaco sambil tersenyum.
“ mangngapa na’ maseppo tendi’ kandi ? ( kenapa murah sekali adik ). Kata si pengusaha yang terlihat sedang bercanda.
“hehehehe… ! Bapak Kaco hanya tertawa dan menggaruk kepalanya.
“Ya’ Ualli nasammi tu’u kandi !” ( kalo begitu saya beli semua, adik ) si pengusaha itu menawar semua ikan dagangan bapak Kaco.
“  Aaa ? tongang bandi’ puang, mangino-ngino’o kapang puang ! ( sungguh puang ? ataukah puang hanya bercanda !). jawab bapak Kaco yang kaget, dan seakan tidak percaya.
“ iyo kandi, tongang’nga, ndanga mangino-ngino” ( iya adik, saya bersungguh-sungguh, dan saya juga tidak bercanda ). Kata Si pengusaha, sambil mengeluarkan dompet dari jeansnya, dan lalu memberi uang kepada Bapak Kaco
“terima kasih puang”. Kata Bapak Kaco yang senang, karena dagangan ikannya telah habis terjual. Mereka pun memutuskan untuk pulang.
Disisi lain, adik kaco yaitu Cicci, sedang membantu ibunya, untuk berjualan di Pasar. Ibu mereka, adalah seorang pedagang sayur. Saat pengunjung pasar mulai ramai, seorang ibu memakai baju berwarna merah  pun berjalan menuju tempat ibu Cicci berjualan.
“Ibu, meloa ma’alli’ doayu, bu ! ( ibu, saya ingin membeli sayuran ). Kata Ibu yang memakai baju warna merah itu.
“Doayu, apamo iting melo ialli bu ? ( sayur apa saja, yang ingin ibu beli ). Jawab ibu Cicci.
karena ibu berbaju merah tadi ingin mengadakan sebuah acara pernikahan, maka ibu itu pun membeli setengah dari seluruh sayuran yang dijual Ibu Kaco dan Cicci.
Setelah hari telah memasuki sore, adzan tanda sholat ashar pun dikumandangkan, Cicci dan ibunya pun kembali kerumah., lalu mengambil air wudhu, begitu pun dengan Kaco, serta bapaknya, setelah mereka berwudhu, mereka pun melakukan sholat Ashar secara berjamaah. Setelah sholat, seperti biasanya Kaco dan Cicci lalu melanjutkan baca’an Al-Qur’an mereka yang hampir sampai pada akhir.
Kaco dan Cicci pun selesai membaca Al-Qur’an, mereka lalu dipanggil Bapak dan Ibunya yang telah menuggu diruang tamu, keduanya lalu bergegas ke ruang tamu.
“ Seperti janji bapak nak !, jika bapak dan ibu mendapatkan rezeki yang cukup banyak, bapak dan ibu akan memberikan kalian sebuah hadiah! Kata Bapak mereka.
“ hadiah apa itu kama (bapak) ?”.tanya Kaco yang bingung.
“ Bapak dan Ibu akan menamatkan baca’an Al-Qur’an kalian, dengan mengikutkan kalian di acara khatamul Qur’an, kalian akan messawe’ ( bahasa mandar ). Kata Bapak mereka, sambil membelai kepala Kaco dan Cicci.
“terima kasih kama’ itu adalah hadiah yang sangat istimewa !. ucap Kaco, lalu memeluk kedua orang tuanya.
Messawe’ totammaq (Bahasa Mandar), adalah penamatan masssal dan khatamul Qur’an yang dimana setiap orang yang mengikuti acara tahunan terbesar yang diselenggarakan olah masyarakat Mandar pada saat memperingati hari kelahiran Nabi besar Muhammad SAW (maulid) itu harus berpakaian Haji khas Mandar.
Keesokan harinya, yaitu tanggal 12 juni 2012, yang merupakan hari memperingati kelahiran Nabi besar Muhammad SAW (maulid). Kaco dan adiknya Cicci lalu berpakaian adat khas suku Mandar, Kaco yang memakai baju terusan putih dan pada kepalanya diikatkan kain beserta aksesorisnya, dan tidak lupa memakai Kacamata Hitam, sehingga Kaco pun berpenampilan layaknya seorang bangsa Arab. Sedangkan Cicci, memakai baju adat suku Mandar, memakai kain bercorak dikepala, dan juga tidak lupa memakai Lipaq Sa’be ( sarung khas suka mandar yang sangat lembut ), beserta aksesorisnya, seperti anting yang terbuat dari kapas, gelang dan kalung yang besar ).
Setelah berpakaian, Kaco pun menjadi Makappa (bahasa mandar-Gagah) dan Cicci menjadi Malolo (bahasa mandar-Cantik), Bapak dan Ibu mereka lalu membawanya ke Lapaangan Gaswon, tempat berlangsungnya Khatamul Qur’an. Acara Khatamul Qur’an itu diikuti dari 230 dari tiap-tiap desa yang ada di Polewali Mandar. Sesampainya di lapangan, Bapak Kaco lalu mendaftarkan  kedua anaknya ke salah satu panitia acara tersebut. Setelah Kaco dan Cicci terdaftar, mereka lalu dipersilahkan untuk memilih salah satu kuda dari 230 kuda tersebut, Kaco memilih kuda yang berwarna hitam, sedangkan Cicci memilih Kuda yang berwarna putih.
Kuda yang hendak ditunggangi mereka adalah Sayyang Patu’du (bahasa Mandar- Kuda patu’du ) , Sayyang Patu’du merupakan kuda yang sudah terlatih untuk mengangguk-anggukkan kepalanya selaras dengan kakinya dan seirama dengan pukulan rebana yang diselingi pula dengan kalinda’da (sejenis pantun berbahasa mandar).
Siang hari terik membakar muka hingga semakin malotong (hitam-bahasa Mandar), orang-orang dari gunung pun turun dan warga masyarakat disekitar lapangan tersebut berdatangan untuk menyaksikan acara tersebut.
  Acara pun dimulai, Kaco dan Cicci pun naik ke kuda yang telah mereka pilih masing masing, Kaco didampingi Bapaknya, sedangkan ibunya mendampingi Cicci. Semua kuda yang ditunggangi setiap peserta, keluar dari lapangan, tanpa terkecuali. Parawana ( pemain rebana ) pun memukul rebananya.
“Dung takakaka dung takakakaka dung, takakata” bunyi pukulan rebana terdengar, sehingga membuat Kuda yang di naiki semua peserta yang tadinya diam, kini bergerak layaknya sedang menari, Kuda itu mengangguk-anggukkan kepalanya dan menekuk kakinya keatas secara berganti ganti yang seirama dengan pukulan rebana yang dipukul oleh  parawana tersebut.
Beberapa lama kemudian parawana tiba-tiba berhenti memukul rebananya dan Kuda yang ditunggangi oleh Cicci, adik Kaco jiga berhenti menari, karena seorang  pakkalinda’da (pembaca pantun), melanturkan pantunnya ke Kuda yang ditunggangi oleh Cicci, yang berbunyi :
Nadiondoq-i I Cicci
Na di damo-damoi
Tuo marendeng
Diang bappaq dalleq-na.
(
Bahasa Mandar- Diayun puteri kesayangan
Dengan belaian kasih sayang
Panjang umur
Semoga mendapat rezeki).

            setelah pakalinda’da selesai melanturkan kalinda’danya , parawana pun melanjutkan aksinya, dengan memukul kembali rebananya, hingga membuat Kuda yang tadinya berhenti menari, menjadi menari kembali.
kepala kuda itu pun kembali mengangguk-angguk seleras dengan gerakan kakinya dan seirama dengan bunyi yang dihasilkan rebana itu.
Selang beberapa menit kemudian, parawana kembali berhenti memainkan rebananya,dan membuat Kuda yang ditunggangi Kaco berhenti menari, seorang pakkalinda’da lalu melanturkan pantunya :
Landuri diong I Kaco
Massoppoq patti loqbang
Meloq disanga
Pole ditana Jawa
(bahasa Mandar- Lewat jalan si Kaco
Memikul peti kosong
Mau dikata
Datang dari pulau Jawa).
Setelah kalingda’da, parawana pun kembali memukul rebananya, “Dung takakaka dung takakakaka dung, takakata”, penonton yang memadati sepanjang jalan, lalu bertepuk tangan sambil tertawa, melihat aksi pakkalinda’da dan parawana yang sangat kocak dan memang mengundang tawa’, sampai-sampai Kaco dan Cicci yang berada diatas kuda pun tersenyum lebar, melebihi lebar senyum Kuda yang mereka tunggangi.
Acara pun selesai, Peserta Khatam Al-Qur’an pun kembali memasuki lapangan, para peserta pun turun dari atas kuda’. Kaco dan Cicci turun dari Kuda yang mereka tunggangi masing-masing, lalu mereka memeluk kedua orang tuanya.
“Kama’Kindo’, inilah hadiah yang paling istimewa dan aku akan menjadikannya sebagai pengalaman yang sangat indah!”. Kata Kaco, sambil meneteskan air mata bahagia.
“Iya, anak, kalian berhak mendapatkan itu”. Kata Bapak mereka, sambil memeluk kedua anaknya.
Berbiacara tentang Pesta Adat Sayyang Pattudu, adalah pesta yang diadakan dalam rangka untuk mensyukuri anak-anak yang khatam (tamat) Al-Qurâan. Bagi warga suku Mandar, tamatnya anak-anak mereka membaca 30 juz Al-Quran merupakan sesuatu yang sangat istimewa, sehingga perlu disyukuri secara khusus dengan mengadakan pesta adat Sayyang Pattudu. Pesta ini biasanya digelar sekali dalam setahun, bertepatan dengan bulan Maulid Awwal (kalender Hijriyah). Pesta tersebut menampilkan atraksi kuda berhias yang menari sembari ditunggangi anak-anak yang mengikuti acara tersebut.
Bagi masyarakat Mandar, khatam Al-Qurâan dan acara adat Sayyang Pattudu memiliki pertalian erat antara satu dengan lainnya. Acara ini tetap mereka lestarikan dengan baik, bahkan masyarakat suku Mandar yang berdiam di luar Sulawesi Barat dengan sukarela akan kembali ke kampung halamannya demi mengikuti acara tersebut. Penyelenggaran pesta adat ini sudah berlangsung cukup lama, tetapi tidak ada yang tahu pasti kapan pertama kali dilaksanakan. Jejak sejarah yang menunjukkan awal pelaksanaan kegiatan sampai sekarang juga belum terdeteksi oleh para sejarawan dan tokoh masyarakat.
Puncak acara khatam Al-Qurâan dengan menggelar pesta adat Sayyang Pattudu memiliki daya tarik tersendiri. Acara ini diramaikan dengan arak-arakan kuda mengelilingi desa yang dikendarai oleh anak-anak yang telah menyelesaikan khatam Al Quran. Setiap anak mengendarai kuda yang sudah dihias sedemikian rupa. Kuda-kuda tersebut juga sudah terlatih untuk mengikuti irama pesta dan mampu berjalan sembari menari mengikuti iringan musik, tabuhan rebana, dan untaian pantun khas Mandar yang mengiringi arak-arakan, itulah sebabnya Kaco sangat bersyukur tinggal di Tanah Mandar.
“ SAYA BANGGA MENJADI ORANG MANDAR” DAN
“ SAYA BANGGA, KARENA KUDA YANG BISA MENARI, HANYA ADA DI TANAH MANDAR”
kata Kaco, sambil berteriak di hadapan kedua Orang Tuanya.

SELESAI


Kamis, 13 Desember 2012

CERPEN "CERITA DIBALIK TANGGUHNYA PERAHU SANDEQ”


“CERITA DIBALIK TANGGUHNYA PERAHU SANDEQ”
Suku Mandar, merupakan satu-satunya Suku Bahari di Nusantara yang secara geografis berhadapan langsung dengan laut dalam. Lautan dalam merupakan halaman rumah Pak Latif, seorang Nelayan yang mempunyai julukan “Kama’na’ Bau”( Bapaknya Ikan ), julukan itu diberikan oleh masyarakat Mandar, setelah Pak Latif berhasil membunuh ikan Hiu, yang selama ini banyak memangsa para Nelayan yang sedang mencari ikan.
Melaut bagi Pak Latif, merupakan penyatuan diri dengan laut. Laut menjadi tempat Pak Latif untuk memenuhi kebutuhn hidupnya, hubungan Pak Latif dengan lautan menghasilkan pola pengetahuan yang berhubungan dengan laut, yaitu “Paissangang Asumombalang ( Pengetahuan tentang Berlayar ), Paissangan Aposasiang ( Pengetahuan tentang Kelautan ), dan Paissangang Paalopiang ( Pengetahuan Tentang Keperahuan ).
Disuatu pagi, saat Pak Latif bangun dari tidurnya, Pak Latif lalu disapa oleh suara gemuruh air laut dan dibelai oleh hembusan angin yang kencang, Pak Latif pun memulai aktivitasnya dengan membuat “Perahu Sandeq” ( Perahu khas suku Mandar ) yang terbuat dari kayu, sehingga terkesan rapuh, namun jika membaca sejarahnya, maka kita akan mengetahui bahwa “Perahu Sandeq”  yang terkesan rapuh itu, mampu dengan lincah mengarungi lautan luas dengan mengandalkan dorongan angin yang ditangkap dengan layar berbentuk segitiga saja. Perahu Sandeq juga sanggup bertahan menghadapi hembusan angin yang kencang dan gelombang saat mengejar kawanan ikan Tuna, oleh sebabnya Pak Latif dengan cermat merancang perahu yang tangguh untuk memburu kawanan ikan Tuna yang sedang bermigrasi.
Dalam membuat Perahu Sandeq, penentuan waktu untuk pembuatannya itu sangat vital dan cara pembuatannya berbeda dengan perahu-perahu lain, artinya untuk memulai pembuatan Perahu Sandeq, harus dipilih waktu yang baik untuk menghindari waktu yang buruk, Pak Latif pun menentukan pembuatannya dengan menggunakan adat istiadat Mandar, yaitu pada saat bulan purnama, atau hari ke-15 tahun Hijiriah, disaat ketika matahari menanjak dan ketika angin sedang berhembus kencang, dua tanda alam tersebut, pak Latif menjadikannnya sebagai ‘Ussul’ (Sebuah Pengharapan), agar Perahu Sandeq yang dibuatnya ‘Rezekinya naik, dan Lajunya kencang’
Sembari mengunggu hari ke-15 Hijiriah, Pak Latif dan kawannya Ibnu, yang merupakan salah satu ahli pembuatan perahu Sandeq, yang ada ditanah Mandar mencari bahan utama untuk membuat Perahu Sandeq, yaitu kayu dari pohon “Kanduruang Mamea” yang telah cukup tua,sehinggaselain kuat juga mempunyai diameter yang cukup lebar. Pak Latif dan Ibnu lalu menyusuri hutan tempat biasanya masyarakat Mandar, mendapatkan kayu dari pohon Kanduruang Mamea itu, dengan semangat yang tinggi Pak Latif dan Ibnu melewati pohon demi pohon tanpa menggunakan alas kaki, beberapa lama kemudian, matahari pun mulai terbenam, Pak Latif dan Ibnu pun menemukan pohon Kanduruang Mamea, mereka lalu membersihkan lokasi disekitar pohon yang hendak ditebang tersebut, guna menghindari mereka dari hal-hal gaib yang dapat mengganggu mereka dalam tahap pembuatan  Perahu Sandeq tersebut, setelah itu Pak Latif lalu memberikan makanan dalam bentuk sesaji kepada si Penunggu pohon tersebut dan melakukan ritual, setelah ritual Pak Latif dan Ibnu pun  kembali kerumahnya masing-masing.
Keesokan harinya, tepatnya pada hari ke-15 tahun Hijiriah, hari yang merupakan waktu vital untuk melakukan penebangan pohon Kanduruang Mamea, dalam pembuatan Perahu Sandeq, Pak Latif dan kawannya Ibnu kembali ke lokasi, dimana pohon Kanduruang Mamea yang telah ditemukan mereka pada hari ke-14 tahun Hijiriah kemarin.
Sesampainya dilokasi, Pak Latif dan Ibnu lalu memperhatikan kondisi alam, Pak Latif memandang ke arah matahari, sedangkan Ibnu merasakan hembusan angin, selang beberapa menit kemudian matahari pun mulai menanjak dan hari pun semakin panas,
“Kandi’ (Panggilan kepada orang yang lebih muda), saya lihat matahari sudah mulai menanjak”. Kata Pak Latif yang terus memandang ke arah matahari.
“baguslah, tapi sampai saat ini saya belum juga merasakan hembusan angin yang kencang Kaka’ (panggilan kepada orang yang lebih tua)”. Ucap Ibnu.
“kita tunggu saja Kandi’”, Kata Pak Latif yang selalu bersikap sabar dan Malaqbi (berwibawa)
“Oh, iyo’ Kaka”
Satu jam kemudian, Matahari pun sudah berada tepat diatas Pak Latif dan Ibnu, angin pun juga mulai berhembus kencang.
“Kaka’, nampaknya angin sudah berhembus kencang”. Kata Ibnu, yang dibelai oleh hembusan angin yang sangat kencang.
“iyo Kandi’, sebaiknya kita mulai menebang pohon ini Kandi”. Jawab Pak Latif.
Setelah dua tanda alam itu ada, yang menurut masyarakat mandar bahwa matahari menanjak terkait dengan pengharapan bahwa “rezekinya naik” dan angin yang berhembus kencang terkait dengan “Lajunya kencang”, Pak Latif dan Ibnu lalu meletakkan peralatan-peralatan yang hendak digunakan untuk menebang pohon tersebut, di bawah pohon itu.
Pak Latif lalu memulai menebang pohon itu, dengan menghadap ke pohon dan mengambil arah selatan, sambil mebaca do’a, tangannya lalu memegang pohon itu, kemudian Pak Latif mendongakkan kepalanya keatas lalu melihat seluruh bagian pohon, lalu dia membelai-belai kulit pohon itu, tujuannya adalah untuk membujuk si pohon agar bersedia untuk ditebang
Setelah membaca Do’a, Pak Latif kemudian melakukan penebangan simbolis, ia mengapak pohon itu tiga kali, kemudian ia mengambil seidikit serpihan kulit pohon yang dikapaknya, lalu ia simpan.
Kemudian, Pak Latif lalu mempersilahkan kawannya Ibnu untuk melanjutkan penebangan pohon itu.
“silahkan Kandi’, tebang pohong ini hingga jatuh!”. Perintah Pak Latif kepada Ibnu.
“iya kaka’, akan saya lakukan!”. Jawab ibnu.
beberapa saat kemudian, pohon yang ditebang Ibnu tadi, akhirnya tumbang tanpa ada yang mengahalanginya, itu bertanda bahwa Perahu Sandeq yang hendak mereka buat, dapat melaju kencang dan membawa keberuntungan tanpa ada halangan.
Setelah pohon itu tumbang, Pak Latif lalu mengambil serpihan dan bilah kayu yang seharusnya ikut terpotong, tetapi menempel pada sisa hasil tebangan pohon tadi, lalu ia membawa serpihan dan bilah kayu kecil itu ketempat pohon bergeletak, dan ia menggunakannya untuk “membelai” batang pohon,dari bagian yang dipotong sampai ujungnya.
Penebangan pohon pun selesai, Pak Latif lalu menentukan ukuran kayu yang akan dijadikan sebagai panjang perahu, panjang ukuran yang ditentukannya adalah 8 meter. Pada bagian bawah pohon Pak Latif menggunakannya sebagai haluan, karena kuat dan daya apungnya sangat bagus.
Setelah hari memasuki senja, ia lalu melakukan tahap akhir dalam pembuatan Perahu Sandeq, ia dan Ibnu pun membawa Perahu Sandeq yang masih belum sempurna tersebut ke rumahnya, yang berdindingkan bambu dan beralaskan butiran-butiran pasir, setelah sampai Pak Latif lalu meletakkannya di battilang (tempat pembuatan perahu) yang berada di halaman rumahnya, setelah itu, Pak Latif dan Ibnu melanjutkan proses pembuatan Perahu Sandeq yang masih belum sempurna tersebut, dengan memasang pallayarang (tiang layar utama), tambera (tali penahan), sobal (layar), guling (kemudi), dan yang terakhir palatto (cadik), setelah pemasangan pallayarang, tambera, sobal, guling, dan palatto, Perahu Sandeq yang dibuatnya kini menjadi sempurna, kuat dan kokoh dan siap untuk berlayar mengarungi luasnya samudra.
Namun, sebelum berlayar, terlebih dahulu Pak Latif dan kawannya Ibnu, mengadakan upacara yang mereka rangkaikan dengan pembacaan do’a dan mantera, karena menurut masyarakat Mandar, pembuatan Perahu Sandeq tidak memerlukan kemampuan kemampuan tekhnis saja, tetapi juga memerlukan kemampuan mistis. Hal-hal mistis yang dapat dilihat dalam Perahu Sandeq adalah pada saat do’a ungkapan-ungkapan yang digunakan. Adapun doa-doa dan pengungkapan yang sudah digunakan Pak Latif dalam membuat perahunya diantaranya “Doa dan ungkapan untuk membersihkan lokasi pohon yang ditebang, Doa dan ungkapan untuk melembekkan pohon dengan cara membelai pohon, Doa dan ungkapan untuk meminta kesediaan pohon untuk ditebang, Doa dan ungkapan untuk meminta izin kepada hutan untuk mengambil pohon, Doa dan ungkapan untuk membawa pohon yang telah berbentuk perahu keluar hutan dan doa ketika melepas perahu yang telah jadi ke laut. Doa dan mantera pun sudah selesai, Pak Latif pun pergi berlayar untuk memburu kawanan ikan Tuna yang sedang bermigrasi dengan menggunakan “Perahu Sandeq” buatannya dengan kawannya Ibnu yang kuat, tangguh dan laju yang sangat kencang. Pak Latif tidak hanya menggunakan “Perahu Sandeq” itu untuk menangkap kawanan ikan, tetapi juga untuk mengikuti lomba adu kecepatan dan ketangguhan Perahu Sandeq yang diselenggarakan oleh masyarakat mandar setiap tahunnya yaitu “Sandeq Race”
Berbiacara tentang Perahu Sandeq, menurut masyarakat Mandar itu bukan sekedar warisan nenek moyang, tapi Perahu Sandeq adalah pengungkapan dari karakter Suku Mandar itu sendiri, sebut saja Pak Latif seorang nelayan yang kuat dan tangguh, mampu mengalahkan ikan Hiu, yang banyak memangsa nelayan yang sedang mencari ikan. Perahu Sandeq yang kuat dan tangguh itu juga mengandung nilai-nilai luhur yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Mandar, nilai nilai itu adalah
 Pertama, nilai religious. Pembuatan Perahu Sandeq merupakan salah satu bentuk ekspresi pola keberagamaan masyarakat Mandar. Kepercayaan kepada hal-hal gaib yang menguasai suatu tempat, melahirkan pola keberagamaan yang unik. Permohonan ijin kepada
 penghuni pohon, baik dengan membawa makanan yang diletakkan di bawah pohon maupun dengan membaca doa-doa dan membaca mantra, merupakan bentuk dari religiousitas orang Mandar. Keunikan pola keberagamaan orang Mandar juga dapat dilihat dari aneka macam ritual yang senantiasa dilakukan selama pembuatan perahu dan ketika Perahu Sandeq hendak dibawa melaut. Bagi para pengkaji keberagamaan masyarakat lokal, religiositas orang Mandar nampaknya dapat menjadi bahan kajian yang cukup menantang.
Kedua, nilai budaya. Keberadaan Perahu Sandeq merupakan hasil dari cara orang-orang Mandar meresponkondisi alam di mana mereka tinggal. Rintangan dan tantangan dari selat Mandar yang cukup dalam dan berarus deras, disikapi oleh masyarakat dengan membuat perahu lancip menggunakan layar berbentuk segitiga dengan ditambahi cadik pada kanan-kirinya. Hasilnya, sebuah perahu yang tidak saja mampu membelah lautan yang cukup ganas dengan stabil, tetapi juga melaju dengan kencang dan berlayar hingga ke mancanegara.
Ketiga, nilai identitas. Perahu Sandeq merupakan pengejawantahan dari karakter orang Mandar itu sendiri. Pallayarang (tiang layar utama) sebagai penentu utama kelajuan perahu merupakan simbol terpacunya citacita kesejahteraan masyarakat. Orang-orang Mandar harus senantiasa berjuang untuk menjaminterciptanya kesejahteraan. Perjuangan harus senantiasa memperhatikan keseimbang agar tidak merugi, hal ini dapat dilihat pada tambera (tali penahan pallayarang) yang senantiasa menjaga pallayarang agar tetap kokoh tegak menjulang. Kekokohan dan keseimbangan harus juga diimbangi oleh sikap fleksibel agar senantiasa mempunyai spirit untuk terus menjadi semakin baik, hal ini dapat dilihat pada sobal (layar) berwarna putih berbentuk segitiga yang merupakan simbol fleksibilitas yang tinggi, kegigihan, ketulusan dan kepolosan orang mandar. Guling (kemudi) sebagai simbol ketepatan mengambil keputusan. Palatto (cadik), baratang dan tadiq sebagai lambang penyeimbang dan pertahanan serta memiliki jangkauan visi yang jauh menyongsong masa depan. Semua simbl perjuangan dan keseimbangan tersebut berlandaskan kepada sifat kesucian serta tekad yang tulus, sebagaimana yang tercermin pada warna Perahu Sandeq, yaitu warna putih. Warna putih juga mempunyai maksud bahwa orang Mandar sangat terbuka untuk menghadapi perubahan seperti disebutkan dalam sebuah ungkapan ”ibannang pute meloq dicinggaq meloq dilango lango”.
Ketiga nilai tersebut secara jelas menunjukkan bahwa Perahu Sandeq merupakan pengejawantahan dari kearifan lokal dan pembentuk identitas masyarakat Mandar. Oleh karenya, upaya pelestarian Perahu Sandeq harus segera di lakukan agar jati diri orang Mandar dapat terus lestari. Namun juga harus disadari bahwa pelesatarian tidak saja sekedar menjaga Perahu Sandeq secara fisik, tetapi juga merevitalisasi nilainilai yang terkandung di dalamnya, sehingga kita, khususnya orang Mandar, dapat terus berkata ”NENEK MOYANGKU SEORANG PELAUT”
SELESAI

Kamis, 06 Desember 2012

CERPEN ' SUNGGUH NYATA TAPI ANEH'


‘SUNGGUH NYATA TAPI ANEH’
Suatu Hari di Pagi yang cerah, Secerah Lampu terang, mengalahkan cerahnya lampu padam, tiba-tiba terdengar suara ayam berkaki dua, berambut panjang ( ayam aneh disamping rumah gue ) dan membuat gue kaget dan langsung bangun dari tidur gue selama 6 jam, 15 menit, 32 detik, dengan muka kayak “RAMBO” yang lag

i buang air besar, tapi hati gue tetep kayak hatinya “ROMEO” , trus gue mandi , abis mandi gue nolong ibu, membersihkan tempat tidur gue ( kayak lagu gue sewaktu TK ), selanjutnya gue pake seragam sekolah, dan ngga’ lupa make “JIMAT” gue, biar cewek2, lekong2, dan gay2, insya allah tertarik sama gue, amiinn.. Al-fatiha’.. !! nama gue “ Muhammad Iasz Al-farizy “, gue dipanggil Bulkon, gue dipangil Bulkon, karena menurut orang-orang , rambut gue halus dan agak keriting kayak bulu-bulu halus disekitar alat kelamin cowok’, dan menurut mereka Bulkon itu singkatan dari nama bulu-bulu halus disekitar alat kelamin cowok, hobi gue belajar.... ( belajar mencuri, merampok, dan menipu ), cita-cita gue pengen jadi “MBAH TOGEL” yang bisa nemu’in rumus yg jitu dalam dunia pertogelan, dan juga gue terkenal sebagai orang yang sangat aneh.
“Bulkon... Bulkon, Sini nak.. !, ibu gue memanggil gue dengan suara srek2 becek”
“ Iya.. Bu’ ... !, jawab gue dengan suara srek2 juga mirip dengan suara tukang ojek langganan ibu gue”
“ ini uang jajannya nak, jangan di pake main Togel !, Ibu gue lalu ngasih duit “
“ tapi bu’ rencananya nanti gue mau main Togel lagi bu’ kayak yang kemaren !”
“ apa.. ? kemarin kamu main togel nak ?, astagfirullahaladzim.. ibu gue kaget dan heran, lalu menenangkan diri dengan istigfar, gue lalu bilang
“ Iya bu’ kemarin gue main togel dan gue menang !” gue ngejelasin ke ibu’
“ ha ... ? Menang ? alhamdulillahirabbilalamin !” ibu gue pun bersyukur “
“ jadi, nanti gue bisa main togel ya’ bu ? “ tanya gue lagi
“ iya, kenapa tidak ? ibu ngeizinin gue”
“ ok, sip ibu yang cantik dan baik ! gue gombal ibu”
*****
setelah dikasih uang jajan, gue lalu berangkat kesekolah, dengan muka ganteng kayak “RAMBO” yang udah buang air besar, gue naik BMW ( Becaknya Mas Wiranto ), tukang becak langganan Ibu gue.
“ Mas, SMA 1 ya’ mas.. ? “ gue pesen biar dianterin ke sekolah bukan kekuburan Si “RAMBO” yang udah buang air besar, lalu bunuh diri, lalu dikubur deh. !
“ ok, dek ... !! jawab si tukang becak.
*****
Ditengah perjalanan yang membosankan, kayak lagi nonton si”RAMBO” lagi nari balet, yang udah buang air besar, lalu bunuh diri. Gue lalu bertanya sama si tukang becak tersebut
“ Mas, Hobi mas apa’an ih ?” si tukang becak lalu jawab pertanyaan gue dengan suara cempreng kayak si “RAMBO” lagi nyani lagunya LYLA “ Detik Terakhir “ sebelum si “RAMBO” bunuh diri,
“ Hobinya Mas itu, benerin yang buntu-buntu de’ “ gue langsung kaget, setelah dengar jawaban yang aneh dan nanya balik “ ha’.. ? yang buntu-buntu’ ?
“iya dek, sperti WC Buntu, Jalan Buntu, Otak Buntu, Usus Buntu dan buntu2 yang lainya dek !
gue lalu diam dan bicara dalam hati gue yang paliiiinggg dalaaaammm, sedalam galian kubur si ‘RAMBO”
yang udah mati karna bunuh diri, trus dikubur.. !
“dasar tukang becak yang aneh”
*****
sesampainya disekolah, gue bertemu sama teman gue “Ramli”, dia juga hobi yang aneh kayak si tukang becak tadi, hobinya dia “suka berenang, tapi sampai sekarang dia blom bisa berenang juga, gue lalu nyapa dia.
“hey, Ram.. !, ia lalu noleh kebelakang, dengan wajah yang dipipinya ada tanda hitam bulat misterius, entah itu bekas kecap yang ketinggal, sewaktu ia lagi makan ato lalat yang sengaja hinggap.
“ Oy, bulkon.. !” jawb si Ramli
“ temanin gue ke kelas yuk.. !! gue ngajak ramli.
“ ok Bro ! “ dianya acungkan jari tengahnya, karna jari jemponya sidah 3 kali puasa dan 3 kali lebaran, ngga’ tumbuh2 !
*****
Ditengah perjalanan, gue ketemu sama kakak kelas gue, yg warna rambutnya aneh, kayak tahi’, mungkin pas kesekolah, kepala dia ngga’ sengaja nabrak tahi’
*****
Pas udah sampai dikelas, gue lalu duduk dibangku belakang, disamping teman gue “Rikfy” yang juga punya hobi yang aneh yaitu “ cuci motor, cuci baju, cuci piring dan cuci foto “ dan dia juga punya cita-cita “ pengen jadi anak yang berguna tapi sayangnya sampai saat ini dia ngga’ ada guna-gunanya.
*****
2 menit kemudian, bu guru baasa indonesiia gue datang dengan lipstik merah merona, tapi kurang rata, dan muka yang penuh dengan rasa bersalah, inu guru lalu nyamoe’in pengumuman bahwa hari ini ada ulangan harian.
“ anak-anak, hari ini kita ulangan K.D 2.1 “ teman2 kelas gue lalu bilang..
“ iya’ bu “ dengan gaya yg santai ala si “RAMBO” yang lagi nyantai di pantai, sebelum si “RAMBO” bunuh diri. Bu guru lalu bagi kertas ke murid-murid, pas gue baca tulisan yang ada di kertas itu, ternyata itu soal yang menurut gue tidak gampang dan susah, gue lalu bingung kayak si”RAMBO” yang lagi bingung nyari tempat B.A.B, selang beberapa menit, kemudian waktu habis, gue dan teman2 gue ngumpul kertas ulangan dengan jawaban yang apa adanya.
*****
jam 14.00, bunyi bel tanda pulang sekolah bunyi, gue bergegas pulang, gue lalu ganti seragam sekolah gue, tanpa mengganti celana dalam gue, abis itu gue ke sanggar seni gue, buat latian musik, pas sampai ditujuan, gue pengan kencing, gue pun nyari tempat indah, seindah hati “ROMEO” bukan si”RAMBO” yg udah bunuh diri, gue pun kencing dengan gaya mirip si”RAMBO” yang lagi kencing dibawah phon tomat. Abis itu gue balik latian lagi.
2 menit kemudian, gue pengen kencing lagi, gue lalu ketempat yang tadi, dan sebelum gue mau kencing, ada orang yang sudah pasang papan yg ada tulisannya.
“DILARANG KENCING DISINI, KECUALI ANJING !” hal itu ngga’ buat gue putus asa, gue tetap kencing ditempat itu, tak lama kemudian gue pengen kencing lagi, ehhh... ternyata tulisannya diganti jadi..
“DILARANG KENCING DISINI, KECUALI BABI ! “ gue tetap kencing, “Bodoh Amat” itu yang ada dalam pikiran gue. Sore pun tiba, gue pengen kencing lagi dan anehnya tulisan yang ada dipapan tadi diganti jadi.
“DILARANG KENCING DISINI, KECUALI ORANG BEGO !” gue ngga’ jadi pipis, karena hal itu mambuat gue putus asa, dan gue milih untuk kencing di celana aja, dari pada guedisangka orang bego sama orang yang nulis larangan tadi.!
*****
malam pun tiba, gue lalu ke tempat biasa gue main Togel, gue lalu masang nomor dengan penuh harapan, biar gue jadi menang ! abis itu,gue ke rumah, ditengah perjalanan, listrik tiba2 padam, jalanan jadi gelap, segelap lampu padam, mengalahkan gelapnya lampu terang, tiba2 ada pesan yang masuk ke HP gue, dan ternyata isinya angka “2711” ( nomor togel yang naik ) pesan itu membuat gue kecewa, karna nomor yang gue pasang “ 2812”. Gue ngga’ jadi menang, sial...., sampai dirumah gue lalu dimarah-marahi ibu karna gue ngga menang’ ! gue pun jadi stress dan prustasi kayak si “RAMBO” yang stress dan langung bunuh diri, tapi gue ngga’ bunuh diri kayak si “RAMBO” karna menurut gue bunuh diri adalah perbuatan yang bodoh dan berdosa, melainkan gue langsung ambil pisau dan lansung nancapin pisau itu di dada sebelah kiri gue !
THE END