( Lomba Karya Tulis Nusantara )
“KUDA MENARI KHAS SUKU MANDAR”
Suatu hari, disaat matahari yang semula bersembunyi,
kini telah muncul dan memancarkan kembali sinarnya, hari yang tadinya gelap
kini berubah menjadi terang, suasana
yang tadinya sepi, kini berubah menjadi ramai, suara kicauan burung pun
terdengar merdu di telinga ‘Kaco’ yang langsung bangun dari tidurnya lalu
meracik secangkir Kopi hitam hangat untuk menghangatkan tubuhnya yang terasa
dingin di pagi yang cerah itu, setelah itu Kaco lalu duduk diatas kursi rotan
yang ada di bawah kolom rumahnya yang berdindingkan bambu, dan beralaskan
butiran-butiran pasir, dan menikmati Kopi hitam buatannya sambil melihat
suasana yang ada di tanah Mandar.
Kaco, itulah namanya, Kaco adalah anak yang lahir
pada saat ibunya melahirkan, hehehe, Kaco lahir tanpa melalui upacara adat,
Kaco merupakan anak pertama dari bersaudara. ‘Cicci’ adalah adiknya, seorang
bocah perempuan yang cantik dan murah senyum dan masih berumur sepuluh tahun.
Kaco dan adiknya Cicci tinggal di tanah Mandar, tepatnya di daerah Polewali
Mandar. Mereka tinggal bersama Kama’ ( bahasa Mandar-Bapak ), dan Kindo’nya (
bahasa Mandar-Ibu). Kaco dan adiknya Cicci adalah pelajar yang masih duduk
dibangku SD.
Kaco dan adiknya Cicci, adalah anak yang soleh dan
soleha, bagaimana tidak ? setiapa harinya, mereka tidak lupa akan kewajibannya
sebagai penganut agama Islam, yaitu sholat lima waktu dan setiap mereka selesai
sholat mereka langsung mengambil kitab suci agama Islam yaitu, Al-Qur’an, lalu
membacanya dengan suara yang sangat merdu dan bagus, mengalahkan suara seorang
penyanyi yang belakangan ini naik daun ( karena ulat telah dibasmi ) yaitu
‘Justin Beiber’.
Seperti yang telah dikatakan Kindo’Mina ( ibu Kaco
dan Cicci ) kepada mereka.
“Eeee… Kaco…. Ooo… Cicci, mua mambacao Qur’an, da sangga’ mubacai, parallu toi tu’u dipiamalkan i ( dalam bahasa Mandar berarti Kaco, Cicci kalau membaca Al-Qur’an, itu tidak hanya dibaca saja, tapi perlu juga untuk diamalkan)”. Kaco dan adiknya Cicci pun mengikuti perkataan dari kindo’ (ibu) mereka itu.
“Eeee… Kaco…. Ooo… Cicci, mua mambacao Qur’an, da sangga’ mubacai, parallu toi tu’u dipiamalkan i ( dalam bahasa Mandar berarti Kaco, Cicci kalau membaca Al-Qur’an, itu tidak hanya dibaca saja, tapi perlu juga untuk diamalkan)”. Kaco dan adiknya Cicci pun mengikuti perkataan dari kindo’ (ibu) mereka itu.
Ketika matahari mulai menanjak, cuaca pun terasa
panas, hingga membuat keringat Kaco meluncur deras, saat itu Kaco sedang
membantu kama’nya ( Bapaknya ) berjualan. Bapak mereka, adalah seorang penjual
ikan keliling yang setiap harinya naik-turun gunung untuk menjual ikan.
“Pip.. Pip.. Pippip” suara clacksound motor bapak Kaco’ yang dibunyikan saat menjual ikan.
Kaco lalu berteriak dengan suara yang sangat keras
“Bau.. ee… bau.. e ( bahasa Mandar bau, berarti Ikan ). Tak berselang lama kemudian, ada seorang pengusaha besar yang ingin memborong semua ikan bapak Kaco.
“Kandi ‘panggilan untuk orang yang lebih mudah’, sa’apa ri’e baummu mesa’ ? ( bahasa mandar-Adik, berapa harga seekor ikan mu ? ). Tanya pengusaha itu, sambil melihat ikan yang dijual bapak Kaco.
“ Lima ribu’ mesa ( lima ribu seekornya ), puang ‘panggilan orang yang lebih tua’. Jawab bapak Kaco sambil tersenyum.
“ mangngapa na’ maseppo tendi’ kandi ? ( kenapa murah sekali adik ). Kata si pengusaha yang terlihat sedang bercanda.
“hehehehe… ! Bapak Kaco hanya tertawa dan menggaruk kepalanya.
“Ya’ Ualli nasammi tu’u kandi !” ( kalo begitu saya beli semua, adik ) si pengusaha itu menawar semua ikan dagangan bapak Kaco.
“ Aaa ? tongang bandi’ puang, mangino-ngino’o kapang puang ! ( sungguh puang ? ataukah puang hanya bercanda !). jawab bapak Kaco yang kaget, dan seakan tidak percaya.
“ iyo kandi, tongang’nga, ndanga mangino-ngino” ( iya adik, saya bersungguh-sungguh, dan saya juga tidak bercanda ). Kata Si pengusaha, sambil mengeluarkan dompet dari jeansnya, dan lalu memberi uang kepada Bapak Kaco
“terima kasih puang”. Kata Bapak Kaco yang senang, karena dagangan ikannya telah habis terjual. Mereka pun memutuskan untuk pulang.
“Pip.. Pip.. Pippip” suara clacksound motor bapak Kaco’ yang dibunyikan saat menjual ikan.
Kaco lalu berteriak dengan suara yang sangat keras
“Bau.. ee… bau.. e ( bahasa Mandar bau, berarti Ikan ). Tak berselang lama kemudian, ada seorang pengusaha besar yang ingin memborong semua ikan bapak Kaco.
“Kandi ‘panggilan untuk orang yang lebih mudah’, sa’apa ri’e baummu mesa’ ? ( bahasa mandar-Adik, berapa harga seekor ikan mu ? ). Tanya pengusaha itu, sambil melihat ikan yang dijual bapak Kaco.
“ Lima ribu’ mesa ( lima ribu seekornya ), puang ‘panggilan orang yang lebih tua’. Jawab bapak Kaco sambil tersenyum.
“ mangngapa na’ maseppo tendi’ kandi ? ( kenapa murah sekali adik ). Kata si pengusaha yang terlihat sedang bercanda.
“hehehehe… ! Bapak Kaco hanya tertawa dan menggaruk kepalanya.
“Ya’ Ualli nasammi tu’u kandi !” ( kalo begitu saya beli semua, adik ) si pengusaha itu menawar semua ikan dagangan bapak Kaco.
“ Aaa ? tongang bandi’ puang, mangino-ngino’o kapang puang ! ( sungguh puang ? ataukah puang hanya bercanda !). jawab bapak Kaco yang kaget, dan seakan tidak percaya.
“ iyo kandi, tongang’nga, ndanga mangino-ngino” ( iya adik, saya bersungguh-sungguh, dan saya juga tidak bercanda ). Kata Si pengusaha, sambil mengeluarkan dompet dari jeansnya, dan lalu memberi uang kepada Bapak Kaco
“terima kasih puang”. Kata Bapak Kaco yang senang, karena dagangan ikannya telah habis terjual. Mereka pun memutuskan untuk pulang.
Disisi lain, adik kaco yaitu Cicci, sedang membantu
ibunya, untuk berjualan di Pasar. Ibu mereka, adalah seorang pedagang sayur.
Saat pengunjung pasar mulai ramai, seorang ibu memakai baju berwarna merah pun berjalan menuju tempat ibu Cicci berjualan.
“Ibu, meloa ma’alli’ doayu, bu ! ( ibu, saya ingin membeli sayuran ). Kata Ibu yang memakai baju warna merah itu.
“Doayu, apamo iting melo ialli bu ? ( sayur apa saja, yang ingin ibu beli ). Jawab ibu Cicci.
karena ibu berbaju merah tadi ingin mengadakan sebuah acara pernikahan, maka ibu itu pun membeli setengah dari seluruh sayuran yang dijual Ibu Kaco dan Cicci.
“Ibu, meloa ma’alli’ doayu, bu ! ( ibu, saya ingin membeli sayuran ). Kata Ibu yang memakai baju warna merah itu.
“Doayu, apamo iting melo ialli bu ? ( sayur apa saja, yang ingin ibu beli ). Jawab ibu Cicci.
karena ibu berbaju merah tadi ingin mengadakan sebuah acara pernikahan, maka ibu itu pun membeli setengah dari seluruh sayuran yang dijual Ibu Kaco dan Cicci.
Setelah hari telah memasuki sore, adzan tanda sholat
ashar pun dikumandangkan, Cicci dan ibunya pun kembali kerumah., lalu mengambil
air wudhu, begitu pun dengan Kaco, serta bapaknya, setelah mereka berwudhu,
mereka pun melakukan sholat Ashar secara berjamaah. Setelah sholat, seperti
biasanya Kaco dan Cicci lalu melanjutkan baca’an Al-Qur’an mereka yang hampir
sampai pada akhir.
Kaco dan Cicci pun selesai membaca Al-Qur’an, mereka
lalu dipanggil Bapak dan Ibunya yang telah menuggu diruang tamu, keduanya lalu
bergegas ke ruang tamu.
“ Seperti janji bapak nak !, jika bapak dan ibu mendapatkan rezeki yang cukup banyak, bapak dan ibu akan memberikan kalian sebuah hadiah! Kata Bapak mereka.
“ hadiah apa itu kama (bapak) ?”.tanya Kaco yang bingung.
“ Bapak dan Ibu akan menamatkan baca’an Al-Qur’an kalian, dengan mengikutkan kalian di acara khatamul Qur’an, kalian akan messawe’ ( bahasa mandar ). Kata Bapak mereka, sambil membelai kepala Kaco dan Cicci.
“terima kasih kama’ itu adalah hadiah yang sangat istimewa !. ucap Kaco, lalu memeluk kedua orang tuanya.
“ Seperti janji bapak nak !, jika bapak dan ibu mendapatkan rezeki yang cukup banyak, bapak dan ibu akan memberikan kalian sebuah hadiah! Kata Bapak mereka.
“ hadiah apa itu kama (bapak) ?”.tanya Kaco yang bingung.
“ Bapak dan Ibu akan menamatkan baca’an Al-Qur’an kalian, dengan mengikutkan kalian di acara khatamul Qur’an, kalian akan messawe’ ( bahasa mandar ). Kata Bapak mereka, sambil membelai kepala Kaco dan Cicci.
“terima kasih kama’ itu adalah hadiah yang sangat istimewa !. ucap Kaco, lalu memeluk kedua orang tuanya.
Messawe’ totammaq (Bahasa Mandar), adalah penamatan
masssal dan khatamul Qur’an yang dimana setiap orang yang mengikuti acara
tahunan terbesar yang diselenggarakan olah masyarakat Mandar pada saat
memperingati hari kelahiran Nabi besar Muhammad SAW (maulid) itu harus
berpakaian Haji khas Mandar.
Keesokan harinya, yaitu tanggal 12 juni 2012, yang
merupakan hari memperingati kelahiran Nabi besar Muhammad SAW (maulid). Kaco
dan adiknya Cicci lalu berpakaian adat khas suku Mandar, Kaco yang memakai baju
terusan putih dan pada kepalanya diikatkan kain beserta aksesorisnya, dan tidak
lupa memakai Kacamata Hitam, sehingga Kaco pun berpenampilan layaknya seorang
bangsa Arab. Sedangkan Cicci, memakai baju adat suku Mandar, memakai kain
bercorak dikepala, dan juga tidak lupa memakai Lipaq Sa’be ( sarung khas suka
mandar yang sangat lembut ), beserta aksesorisnya, seperti anting yang terbuat
dari kapas, gelang dan kalung yang besar ).
Setelah berpakaian, Kaco pun menjadi Makappa (bahasa mandar-Gagah) dan Cicci
menjadi Malolo (bahasa
mandar-Cantik), Bapak dan Ibu mereka lalu membawanya ke Lapaangan Gaswon,
tempat berlangsungnya Khatamul Qur’an. Acara Khatamul Qur’an itu diikuti dari
230 dari tiap-tiap desa yang ada di Polewali Mandar. Sesampainya di lapangan,
Bapak Kaco lalu mendaftarkan kedua
anaknya ke salah satu panitia acara tersebut. Setelah Kaco dan Cicci terdaftar,
mereka lalu dipersilahkan untuk memilih salah satu kuda dari 230 kuda tersebut,
Kaco memilih kuda yang berwarna hitam, sedangkan Cicci memilih Kuda yang
berwarna putih.
Kuda yang hendak ditunggangi mereka adalah Sayyang Patu’du (bahasa Mandar- Kuda
patu’du ) , Sayyang Patu’du merupakan
kuda yang sudah terlatih untuk mengangguk-anggukkan kepalanya selaras dengan
kakinya dan seirama dengan pukulan rebana yang diselingi pula dengan kalinda’da (sejenis pantun berbahasa
mandar).
Siang hari terik membakar muka hingga semakin malotong (hitam-bahasa Mandar), orang-orang
dari gunung pun turun dan warga masyarakat disekitar lapangan tersebut
berdatangan untuk menyaksikan acara tersebut.
Acara pun
dimulai, Kaco dan Cicci pun naik ke kuda yang telah mereka pilih masing masing,
Kaco didampingi Bapaknya, sedangkan ibunya mendampingi Cicci. Semua kuda yang
ditunggangi setiap peserta, keluar dari lapangan, tanpa terkecuali. Parawana ( pemain rebana ) pun memukul
rebananya.
“Dung takakaka dung takakakaka dung, takakata” bunyi pukulan rebana terdengar, sehingga membuat Kuda yang di naiki semua peserta yang tadinya diam, kini bergerak layaknya sedang menari, Kuda itu mengangguk-anggukkan kepalanya dan menekuk kakinya keatas secara berganti ganti yang seirama dengan pukulan rebana yang dipukul oleh parawana tersebut.
“Dung takakaka dung takakakaka dung, takakata” bunyi pukulan rebana terdengar, sehingga membuat Kuda yang di naiki semua peserta yang tadinya diam, kini bergerak layaknya sedang menari, Kuda itu mengangguk-anggukkan kepalanya dan menekuk kakinya keatas secara berganti ganti yang seirama dengan pukulan rebana yang dipukul oleh parawana tersebut.
Beberapa lama kemudian parawana tiba-tiba berhenti memukul rebananya dan Kuda yang
ditunggangi oleh Cicci, adik Kaco jiga berhenti menari, karena seorang pakkalinda’da
(pembaca pantun), melanturkan pantunnya ke Kuda yang ditunggangi oleh
Cicci, yang berbunyi :
Nadiondoq-i I Cicci
Na di damo-damoi
Tuo marendeng
Diang bappaq dalleq-na.
(Bahasa Mandar- Diayun puteri kesayangan
Dengan belaian kasih sayang
Panjang umur
Semoga mendapat rezeki).
setelah pakalinda’da selesai melanturkan kalinda’danya , parawana pun melanjutkan aksinya, dengan memukul kembali rebananya, hingga membuat Kuda yang tadinya berhenti menari, menjadi menari kembali.
kepala kuda itu pun kembali mengangguk-angguk seleras dengan gerakan kakinya dan seirama dengan bunyi yang dihasilkan rebana itu.
Nadiondoq-i I Cicci
Na di damo-damoi
Tuo marendeng
Diang bappaq dalleq-na.
(Bahasa Mandar- Diayun puteri kesayangan
Dengan belaian kasih sayang
Panjang umur
Semoga mendapat rezeki).
setelah pakalinda’da selesai melanturkan kalinda’danya , parawana pun melanjutkan aksinya, dengan memukul kembali rebananya, hingga membuat Kuda yang tadinya berhenti menari, menjadi menari kembali.
kepala kuda itu pun kembali mengangguk-angguk seleras dengan gerakan kakinya dan seirama dengan bunyi yang dihasilkan rebana itu.
Selang beberapa menit kemudian,
parawana kembali berhenti memainkan
rebananya,dan membuat Kuda yang ditunggangi Kaco berhenti menari, seorang pakkalinda’da lalu melanturkan pantunya
:
Landuri diong I Kaco
Massoppoq patti loqbang
Meloq disanga
Pole ditana Jawa
(bahasa Mandar- Lewat jalan si Kaco
Memikul peti kosong
Mau dikata
Datang dari pulau Jawa).
Landuri diong I Kaco
Massoppoq patti loqbang
Meloq disanga
Pole ditana Jawa
(bahasa Mandar- Lewat jalan si Kaco
Memikul peti kosong
Mau dikata
Datang dari pulau Jawa).
Setelah kalingda’da, parawana pun kembali memukul rebananya, “Dung takakaka dung takakakaka dung, takakata”, penonton yang
memadati sepanjang jalan, lalu bertepuk tangan sambil tertawa, melihat aksi pakkalinda’da dan parawana yang sangat kocak dan memang mengundang tawa’,
sampai-sampai Kaco dan Cicci yang berada diatas kuda pun tersenyum lebar,
melebihi lebar senyum Kuda yang mereka tunggangi.
Acara pun selesai, Peserta
Khatam Al-Qur’an pun kembali memasuki lapangan, para peserta pun turun dari
atas kuda’. Kaco dan Cicci turun dari Kuda yang mereka tunggangi masing-masing,
lalu mereka memeluk kedua orang tuanya.
“Kama’Kindo’, inilah hadiah yang paling istimewa dan aku akan menjadikannya sebagai pengalaman yang sangat indah!”. Kata Kaco, sambil meneteskan air mata bahagia.
“Iya, anak, kalian berhak mendapatkan itu”. Kata Bapak mereka, sambil memeluk kedua anaknya.
“Kama’Kindo’, inilah hadiah yang paling istimewa dan aku akan menjadikannya sebagai pengalaman yang sangat indah!”. Kata Kaco, sambil meneteskan air mata bahagia.
“Iya, anak, kalian berhak mendapatkan itu”. Kata Bapak mereka, sambil memeluk kedua anaknya.
Berbiacara
tentang Pesta Adat Sayyang Pattudu, adalah pesta yang diadakan dalam rangka untuk mensyukuri anak-anak yang khatam (tamat)
Al-Qurâan. Bagi warga suku Mandar, tamatnya anak-anak mereka membaca 30 juz
Al-Quran merupakan sesuatu yang sangat istimewa, sehingga perlu disyukuri
secara khusus dengan mengadakan pesta adat Sayyang Pattudu. Pesta ini biasanya
digelar sekali dalam setahun, bertepatan dengan bulan Maulid Awwal (kalender
Hijriyah). Pesta tersebut menampilkan atraksi kuda berhias yang menari sembari
ditunggangi anak-anak yang mengikuti acara tersebut.
Bagi masyarakat Mandar,
khatam Al-Qurâan dan acara adat Sayyang Pattudu memiliki pertalian erat antara
satu dengan lainnya. Acara ini tetap mereka lestarikan dengan baik, bahkan
masyarakat suku Mandar yang berdiam di luar Sulawesi Barat dengan sukarela akan
kembali ke kampung halamannya demi mengikuti acara tersebut. Penyelenggaran
pesta adat ini sudah berlangsung cukup lama, tetapi tidak ada yang tahu pasti
kapan pertama kali dilaksanakan. Jejak sejarah yang menunjukkan awal
pelaksanaan kegiatan sampai sekarang juga belum terdeteksi oleh para sejarawan
dan tokoh masyarakat.
Puncak acara khatam
Al-Qurâan dengan menggelar pesta adat Sayyang Pattudu memiliki daya tarik
tersendiri. Acara ini diramaikan dengan arak-arakan kuda mengelilingi desa yang
dikendarai oleh anak-anak yang telah menyelesaikan khatam Al Quran. Setiap anak
mengendarai kuda yang sudah dihias sedemikian rupa. Kuda-kuda tersebut juga
sudah terlatih untuk mengikuti irama pesta dan mampu berjalan sembari menari
mengikuti iringan musik, tabuhan rebana, dan untaian pantun khas Mandar yang
mengiringi arak-arakan, itulah sebabnya Kaco sangat bersyukur tinggal
di Tanah Mandar.
“ SAYA BANGGA MENJADI ORANG MANDAR” DAN
“ SAYA BANGGA, KARENA KUDA YANG BISA MENARI, HANYA ADA DI TANAH MANDAR”
kata Kaco, sambil berteriak di hadapan kedua Orang Tuanya.
“ SAYA BANGGA MENJADI ORANG MANDAR” DAN
“ SAYA BANGGA, KARENA KUDA YANG BISA MENARI, HANYA ADA DI TANAH MANDAR”
kata Kaco, sambil berteriak di hadapan kedua Orang Tuanya.
SELESAI