Kamis, 13 Desember 2012

CERPEN "CERITA DIBALIK TANGGUHNYA PERAHU SANDEQ”


“CERITA DIBALIK TANGGUHNYA PERAHU SANDEQ”
Suku Mandar, merupakan satu-satunya Suku Bahari di Nusantara yang secara geografis berhadapan langsung dengan laut dalam. Lautan dalam merupakan halaman rumah Pak Latif, seorang Nelayan yang mempunyai julukan “Kama’na’ Bau”( Bapaknya Ikan ), julukan itu diberikan oleh masyarakat Mandar, setelah Pak Latif berhasil membunuh ikan Hiu, yang selama ini banyak memangsa para Nelayan yang sedang mencari ikan.
Melaut bagi Pak Latif, merupakan penyatuan diri dengan laut. Laut menjadi tempat Pak Latif untuk memenuhi kebutuhn hidupnya, hubungan Pak Latif dengan lautan menghasilkan pola pengetahuan yang berhubungan dengan laut, yaitu “Paissangang Asumombalang ( Pengetahuan tentang Berlayar ), Paissangan Aposasiang ( Pengetahuan tentang Kelautan ), dan Paissangang Paalopiang ( Pengetahuan Tentang Keperahuan ).
Disuatu pagi, saat Pak Latif bangun dari tidurnya, Pak Latif lalu disapa oleh suara gemuruh air laut dan dibelai oleh hembusan angin yang kencang, Pak Latif pun memulai aktivitasnya dengan membuat “Perahu Sandeq” ( Perahu khas suku Mandar ) yang terbuat dari kayu, sehingga terkesan rapuh, namun jika membaca sejarahnya, maka kita akan mengetahui bahwa “Perahu Sandeq”  yang terkesan rapuh itu, mampu dengan lincah mengarungi lautan luas dengan mengandalkan dorongan angin yang ditangkap dengan layar berbentuk segitiga saja. Perahu Sandeq juga sanggup bertahan menghadapi hembusan angin yang kencang dan gelombang saat mengejar kawanan ikan Tuna, oleh sebabnya Pak Latif dengan cermat merancang perahu yang tangguh untuk memburu kawanan ikan Tuna yang sedang bermigrasi.
Dalam membuat Perahu Sandeq, penentuan waktu untuk pembuatannya itu sangat vital dan cara pembuatannya berbeda dengan perahu-perahu lain, artinya untuk memulai pembuatan Perahu Sandeq, harus dipilih waktu yang baik untuk menghindari waktu yang buruk, Pak Latif pun menentukan pembuatannya dengan menggunakan adat istiadat Mandar, yaitu pada saat bulan purnama, atau hari ke-15 tahun Hijiriah, disaat ketika matahari menanjak dan ketika angin sedang berhembus kencang, dua tanda alam tersebut, pak Latif menjadikannnya sebagai ‘Ussul’ (Sebuah Pengharapan), agar Perahu Sandeq yang dibuatnya ‘Rezekinya naik, dan Lajunya kencang’
Sembari mengunggu hari ke-15 Hijiriah, Pak Latif dan kawannya Ibnu, yang merupakan salah satu ahli pembuatan perahu Sandeq, yang ada ditanah Mandar mencari bahan utama untuk membuat Perahu Sandeq, yaitu kayu dari pohon “Kanduruang Mamea” yang telah cukup tua,sehinggaselain kuat juga mempunyai diameter yang cukup lebar. Pak Latif dan Ibnu lalu menyusuri hutan tempat biasanya masyarakat Mandar, mendapatkan kayu dari pohon Kanduruang Mamea itu, dengan semangat yang tinggi Pak Latif dan Ibnu melewati pohon demi pohon tanpa menggunakan alas kaki, beberapa lama kemudian, matahari pun mulai terbenam, Pak Latif dan Ibnu pun menemukan pohon Kanduruang Mamea, mereka lalu membersihkan lokasi disekitar pohon yang hendak ditebang tersebut, guna menghindari mereka dari hal-hal gaib yang dapat mengganggu mereka dalam tahap pembuatan  Perahu Sandeq tersebut, setelah itu Pak Latif lalu memberikan makanan dalam bentuk sesaji kepada si Penunggu pohon tersebut dan melakukan ritual, setelah ritual Pak Latif dan Ibnu pun  kembali kerumahnya masing-masing.
Keesokan harinya, tepatnya pada hari ke-15 tahun Hijiriah, hari yang merupakan waktu vital untuk melakukan penebangan pohon Kanduruang Mamea, dalam pembuatan Perahu Sandeq, Pak Latif dan kawannya Ibnu kembali ke lokasi, dimana pohon Kanduruang Mamea yang telah ditemukan mereka pada hari ke-14 tahun Hijiriah kemarin.
Sesampainya dilokasi, Pak Latif dan Ibnu lalu memperhatikan kondisi alam, Pak Latif memandang ke arah matahari, sedangkan Ibnu merasakan hembusan angin, selang beberapa menit kemudian matahari pun mulai menanjak dan hari pun semakin panas,
“Kandi’ (Panggilan kepada orang yang lebih muda), saya lihat matahari sudah mulai menanjak”. Kata Pak Latif yang terus memandang ke arah matahari.
“baguslah, tapi sampai saat ini saya belum juga merasakan hembusan angin yang kencang Kaka’ (panggilan kepada orang yang lebih tua)”. Ucap Ibnu.
“kita tunggu saja Kandi’”, Kata Pak Latif yang selalu bersikap sabar dan Malaqbi (berwibawa)
“Oh, iyo’ Kaka”
Satu jam kemudian, Matahari pun sudah berada tepat diatas Pak Latif dan Ibnu, angin pun juga mulai berhembus kencang.
“Kaka’, nampaknya angin sudah berhembus kencang”. Kata Ibnu, yang dibelai oleh hembusan angin yang sangat kencang.
“iyo Kandi’, sebaiknya kita mulai menebang pohon ini Kandi”. Jawab Pak Latif.
Setelah dua tanda alam itu ada, yang menurut masyarakat mandar bahwa matahari menanjak terkait dengan pengharapan bahwa “rezekinya naik” dan angin yang berhembus kencang terkait dengan “Lajunya kencang”, Pak Latif dan Ibnu lalu meletakkan peralatan-peralatan yang hendak digunakan untuk menebang pohon tersebut, di bawah pohon itu.
Pak Latif lalu memulai menebang pohon itu, dengan menghadap ke pohon dan mengambil arah selatan, sambil mebaca do’a, tangannya lalu memegang pohon itu, kemudian Pak Latif mendongakkan kepalanya keatas lalu melihat seluruh bagian pohon, lalu dia membelai-belai kulit pohon itu, tujuannya adalah untuk membujuk si pohon agar bersedia untuk ditebang
Setelah membaca Do’a, Pak Latif kemudian melakukan penebangan simbolis, ia mengapak pohon itu tiga kali, kemudian ia mengambil seidikit serpihan kulit pohon yang dikapaknya, lalu ia simpan.
Kemudian, Pak Latif lalu mempersilahkan kawannya Ibnu untuk melanjutkan penebangan pohon itu.
“silahkan Kandi’, tebang pohong ini hingga jatuh!”. Perintah Pak Latif kepada Ibnu.
“iya kaka’, akan saya lakukan!”. Jawab ibnu.
beberapa saat kemudian, pohon yang ditebang Ibnu tadi, akhirnya tumbang tanpa ada yang mengahalanginya, itu bertanda bahwa Perahu Sandeq yang hendak mereka buat, dapat melaju kencang dan membawa keberuntungan tanpa ada halangan.
Setelah pohon itu tumbang, Pak Latif lalu mengambil serpihan dan bilah kayu yang seharusnya ikut terpotong, tetapi menempel pada sisa hasil tebangan pohon tadi, lalu ia membawa serpihan dan bilah kayu kecil itu ketempat pohon bergeletak, dan ia menggunakannya untuk “membelai” batang pohon,dari bagian yang dipotong sampai ujungnya.
Penebangan pohon pun selesai, Pak Latif lalu menentukan ukuran kayu yang akan dijadikan sebagai panjang perahu, panjang ukuran yang ditentukannya adalah 8 meter. Pada bagian bawah pohon Pak Latif menggunakannya sebagai haluan, karena kuat dan daya apungnya sangat bagus.
Setelah hari memasuki senja, ia lalu melakukan tahap akhir dalam pembuatan Perahu Sandeq, ia dan Ibnu pun membawa Perahu Sandeq yang masih belum sempurna tersebut ke rumahnya, yang berdindingkan bambu dan beralaskan butiran-butiran pasir, setelah sampai Pak Latif lalu meletakkannya di battilang (tempat pembuatan perahu) yang berada di halaman rumahnya, setelah itu, Pak Latif dan Ibnu melanjutkan proses pembuatan Perahu Sandeq yang masih belum sempurna tersebut, dengan memasang pallayarang (tiang layar utama), tambera (tali penahan), sobal (layar), guling (kemudi), dan yang terakhir palatto (cadik), setelah pemasangan pallayarang, tambera, sobal, guling, dan palatto, Perahu Sandeq yang dibuatnya kini menjadi sempurna, kuat dan kokoh dan siap untuk berlayar mengarungi luasnya samudra.
Namun, sebelum berlayar, terlebih dahulu Pak Latif dan kawannya Ibnu, mengadakan upacara yang mereka rangkaikan dengan pembacaan do’a dan mantera, karena menurut masyarakat Mandar, pembuatan Perahu Sandeq tidak memerlukan kemampuan kemampuan tekhnis saja, tetapi juga memerlukan kemampuan mistis. Hal-hal mistis yang dapat dilihat dalam Perahu Sandeq adalah pada saat do’a ungkapan-ungkapan yang digunakan. Adapun doa-doa dan pengungkapan yang sudah digunakan Pak Latif dalam membuat perahunya diantaranya “Doa dan ungkapan untuk membersihkan lokasi pohon yang ditebang, Doa dan ungkapan untuk melembekkan pohon dengan cara membelai pohon, Doa dan ungkapan untuk meminta kesediaan pohon untuk ditebang, Doa dan ungkapan untuk meminta izin kepada hutan untuk mengambil pohon, Doa dan ungkapan untuk membawa pohon yang telah berbentuk perahu keluar hutan dan doa ketika melepas perahu yang telah jadi ke laut. Doa dan mantera pun sudah selesai, Pak Latif pun pergi berlayar untuk memburu kawanan ikan Tuna yang sedang bermigrasi dengan menggunakan “Perahu Sandeq” buatannya dengan kawannya Ibnu yang kuat, tangguh dan laju yang sangat kencang. Pak Latif tidak hanya menggunakan “Perahu Sandeq” itu untuk menangkap kawanan ikan, tetapi juga untuk mengikuti lomba adu kecepatan dan ketangguhan Perahu Sandeq yang diselenggarakan oleh masyarakat mandar setiap tahunnya yaitu “Sandeq Race”
Berbiacara tentang Perahu Sandeq, menurut masyarakat Mandar itu bukan sekedar warisan nenek moyang, tapi Perahu Sandeq adalah pengungkapan dari karakter Suku Mandar itu sendiri, sebut saja Pak Latif seorang nelayan yang kuat dan tangguh, mampu mengalahkan ikan Hiu, yang banyak memangsa nelayan yang sedang mencari ikan. Perahu Sandeq yang kuat dan tangguh itu juga mengandung nilai-nilai luhur yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Mandar, nilai nilai itu adalah
 Pertama, nilai religious. Pembuatan Perahu Sandeq merupakan salah satu bentuk ekspresi pola keberagamaan masyarakat Mandar. Kepercayaan kepada hal-hal gaib yang menguasai suatu tempat, melahirkan pola keberagamaan yang unik. Permohonan ijin kepada
 penghuni pohon, baik dengan membawa makanan yang diletakkan di bawah pohon maupun dengan membaca doa-doa dan membaca mantra, merupakan bentuk dari religiousitas orang Mandar. Keunikan pola keberagamaan orang Mandar juga dapat dilihat dari aneka macam ritual yang senantiasa dilakukan selama pembuatan perahu dan ketika Perahu Sandeq hendak dibawa melaut. Bagi para pengkaji keberagamaan masyarakat lokal, religiositas orang Mandar nampaknya dapat menjadi bahan kajian yang cukup menantang.
Kedua, nilai budaya. Keberadaan Perahu Sandeq merupakan hasil dari cara orang-orang Mandar meresponkondisi alam di mana mereka tinggal. Rintangan dan tantangan dari selat Mandar yang cukup dalam dan berarus deras, disikapi oleh masyarakat dengan membuat perahu lancip menggunakan layar berbentuk segitiga dengan ditambahi cadik pada kanan-kirinya. Hasilnya, sebuah perahu yang tidak saja mampu membelah lautan yang cukup ganas dengan stabil, tetapi juga melaju dengan kencang dan berlayar hingga ke mancanegara.
Ketiga, nilai identitas. Perahu Sandeq merupakan pengejawantahan dari karakter orang Mandar itu sendiri. Pallayarang (tiang layar utama) sebagai penentu utama kelajuan perahu merupakan simbol terpacunya citacita kesejahteraan masyarakat. Orang-orang Mandar harus senantiasa berjuang untuk menjaminterciptanya kesejahteraan. Perjuangan harus senantiasa memperhatikan keseimbang agar tidak merugi, hal ini dapat dilihat pada tambera (tali penahan pallayarang) yang senantiasa menjaga pallayarang agar tetap kokoh tegak menjulang. Kekokohan dan keseimbangan harus juga diimbangi oleh sikap fleksibel agar senantiasa mempunyai spirit untuk terus menjadi semakin baik, hal ini dapat dilihat pada sobal (layar) berwarna putih berbentuk segitiga yang merupakan simbol fleksibilitas yang tinggi, kegigihan, ketulusan dan kepolosan orang mandar. Guling (kemudi) sebagai simbol ketepatan mengambil keputusan. Palatto (cadik), baratang dan tadiq sebagai lambang penyeimbang dan pertahanan serta memiliki jangkauan visi yang jauh menyongsong masa depan. Semua simbl perjuangan dan keseimbangan tersebut berlandaskan kepada sifat kesucian serta tekad yang tulus, sebagaimana yang tercermin pada warna Perahu Sandeq, yaitu warna putih. Warna putih juga mempunyai maksud bahwa orang Mandar sangat terbuka untuk menghadapi perubahan seperti disebutkan dalam sebuah ungkapan ”ibannang pute meloq dicinggaq meloq dilango lango”.
Ketiga nilai tersebut secara jelas menunjukkan bahwa Perahu Sandeq merupakan pengejawantahan dari kearifan lokal dan pembentuk identitas masyarakat Mandar. Oleh karenya, upaya pelestarian Perahu Sandeq harus segera di lakukan agar jati diri orang Mandar dapat terus lestari. Namun juga harus disadari bahwa pelesatarian tidak saja sekedar menjaga Perahu Sandeq secara fisik, tetapi juga merevitalisasi nilainilai yang terkandung di dalamnya, sehingga kita, khususnya orang Mandar, dapat terus berkata ”NENEK MOYANGKU SEORANG PELAUT”
SELESAI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar