“CERITA DIBALIK TANGGUHNYA PERAHU SANDEQ”
Suku Mandar, merupakan satu-satunya Suku Bahari di
Nusantara yang secara geografis berhadapan langsung dengan laut dalam. Lautan
dalam merupakan halaman rumah Pak Latif, seorang Nelayan yang mempunyai julukan
“Kama’na’ Bau”( Bapaknya Ikan ),
julukan itu diberikan oleh masyarakat Mandar, setelah Pak Latif berhasil
membunuh ikan Hiu, yang selama ini banyak memangsa para Nelayan yang sedang
mencari ikan.
Melaut bagi Pak Latif, merupakan penyatuan diri dengan
laut. Laut menjadi tempat Pak Latif untuk memenuhi kebutuhn hidupnya, hubungan
Pak Latif dengan lautan menghasilkan pola pengetahuan yang berhubungan dengan
laut, yaitu “Paissangang Asumombalang (
Pengetahuan tentang Berlayar ), Paissangan Aposasiang ( Pengetahuan tentang
Kelautan ), dan Paissangang Paalopiang ( Pengetahuan Tentang Keperahuan ).
Disuatu pagi, saat Pak Latif bangun dari tidurnya, Pak
Latif lalu disapa oleh suara gemuruh air laut dan dibelai oleh hembusan angin
yang kencang, Pak Latif pun memulai aktivitasnya dengan membuat “Perahu Sandeq”
( Perahu khas suku Mandar ) yang terbuat dari kayu, sehingga terkesan rapuh,
namun jika membaca sejarahnya, maka kita akan mengetahui bahwa “Perahu
Sandeq” yang terkesan rapuh itu, mampu
dengan lincah mengarungi lautan luas dengan mengandalkan dorongan angin yang
ditangkap dengan layar berbentuk segitiga saja. Perahu Sandeq juga sanggup
bertahan menghadapi hembusan angin yang kencang dan gelombang saat mengejar
kawanan ikan Tuna, oleh sebabnya Pak Latif dengan cermat merancang perahu yang
tangguh untuk memburu kawanan ikan Tuna yang sedang bermigrasi.
Dalam membuat Perahu Sandeq, penentuan waktu untuk
pembuatannya itu sangat vital dan cara pembuatannya berbeda dengan
perahu-perahu lain, artinya untuk memulai pembuatan Perahu Sandeq, harus
dipilih waktu yang baik untuk menghindari waktu yang buruk, Pak Latif pun
menentukan pembuatannya dengan menggunakan adat istiadat Mandar, yaitu pada
saat bulan purnama, atau hari ke-15 tahun Hijiriah, disaat ketika matahari
menanjak dan ketika angin sedang berhembus kencang, dua tanda alam tersebut,
pak Latif menjadikannnya sebagai ‘Ussul’
(Sebuah Pengharapan), agar Perahu Sandeq yang dibuatnya ‘Rezekinya naik,
dan Lajunya kencang’
Sembari mengunggu hari ke-15 Hijiriah, Pak Latif dan
kawannya Ibnu, yang merupakan salah satu ahli pembuatan perahu Sandeq, yang ada
ditanah Mandar mencari bahan utama untuk membuat Perahu Sandeq, yaitu kayu dari
pohon “Kanduruang Mamea” yang telah cukup tua,sehinggaselain kuat juga
mempunyai diameter yang cukup lebar. Pak Latif dan Ibnu lalu menyusuri hutan
tempat biasanya masyarakat Mandar, mendapatkan kayu dari pohon Kanduruang Mamea
itu, dengan semangat yang tinggi Pak Latif dan Ibnu melewati pohon demi pohon
tanpa menggunakan alas kaki, beberapa lama kemudian, matahari pun mulai
terbenam, Pak Latif dan Ibnu pun menemukan pohon Kanduruang Mamea, mereka lalu
membersihkan lokasi disekitar pohon yang hendak ditebang tersebut, guna
menghindari mereka dari hal-hal gaib yang dapat mengganggu mereka dalam tahap
pembuatan Perahu Sandeq tersebut,
setelah itu Pak Latif lalu memberikan makanan dalam bentuk sesaji kepada si
Penunggu pohon tersebut dan melakukan ritual, setelah ritual Pak Latif dan Ibnu
pun kembali kerumahnya masing-masing.
Keesokan harinya, tepatnya pada hari ke-15 tahun
Hijiriah, hari yang merupakan waktu vital untuk melakukan penebangan pohon
Kanduruang Mamea, dalam pembuatan Perahu Sandeq, Pak Latif dan kawannya Ibnu
kembali ke lokasi, dimana pohon Kanduruang Mamea yang telah ditemukan mereka
pada hari ke-14 tahun Hijiriah kemarin.
Sesampainya dilokasi, Pak Latif dan Ibnu lalu memperhatikan
kondisi alam, Pak Latif memandang ke arah matahari, sedangkan Ibnu merasakan
hembusan angin, selang beberapa menit kemudian matahari pun mulai menanjak dan
hari pun semakin panas,
“Kandi’ (Panggilan kepada orang yang lebih muda), saya lihat matahari sudah mulai menanjak”. Kata Pak Latif yang terus memandang ke arah matahari.
“baguslah, tapi sampai saat ini saya belum juga merasakan hembusan angin yang kencang Kaka’ (panggilan kepada orang yang lebih tua)”. Ucap Ibnu.
“kita tunggu saja Kandi’”, Kata Pak Latif yang selalu bersikap sabar dan Malaqbi (berwibawa)
“Oh, iyo’ Kaka”
“Kandi’ (Panggilan kepada orang yang lebih muda), saya lihat matahari sudah mulai menanjak”. Kata Pak Latif yang terus memandang ke arah matahari.
“baguslah, tapi sampai saat ini saya belum juga merasakan hembusan angin yang kencang Kaka’ (panggilan kepada orang yang lebih tua)”. Ucap Ibnu.
“kita tunggu saja Kandi’”, Kata Pak Latif yang selalu bersikap sabar dan Malaqbi (berwibawa)
“Oh, iyo’ Kaka”
Satu jam kemudian, Matahari pun sudah berada tepat diatas
Pak Latif dan Ibnu, angin pun juga mulai berhembus kencang.
“Kaka’, nampaknya angin sudah berhembus kencang”. Kata Ibnu, yang dibelai oleh hembusan angin yang sangat kencang.
“iyo Kandi’, sebaiknya kita mulai menebang pohon ini Kandi”. Jawab Pak Latif.
“Kaka’, nampaknya angin sudah berhembus kencang”. Kata Ibnu, yang dibelai oleh hembusan angin yang sangat kencang.
“iyo Kandi’, sebaiknya kita mulai menebang pohon ini Kandi”. Jawab Pak Latif.
Setelah dua tanda alam itu ada, yang menurut masyarakat
mandar bahwa matahari menanjak terkait dengan pengharapan bahwa “rezekinya
naik” dan angin yang berhembus kencang terkait dengan “Lajunya kencang”, Pak
Latif dan Ibnu lalu meletakkan peralatan-peralatan yang hendak digunakan untuk
menebang pohon tersebut, di bawah pohon itu.
Pak Latif lalu memulai menebang pohon itu, dengan
menghadap ke pohon dan mengambil arah selatan, sambil mebaca do’a, tangannya
lalu memegang pohon itu, kemudian Pak Latif mendongakkan kepalanya keatas lalu
melihat seluruh bagian pohon, lalu dia membelai-belai kulit pohon itu,
tujuannya adalah untuk membujuk si pohon agar bersedia untuk ditebang
Setelah membaca Do’a, Pak Latif kemudian melakukan
penebangan simbolis, ia mengapak pohon itu tiga kali, kemudian ia mengambil
seidikit serpihan kulit pohon yang dikapaknya, lalu ia simpan.
Kemudian, Pak Latif lalu mempersilahkan kawannya Ibnu
untuk melanjutkan penebangan pohon itu.
“silahkan Kandi’, tebang pohong ini hingga jatuh!”. Perintah Pak Latif kepada Ibnu.
“iya kaka’, akan saya lakukan!”. Jawab ibnu.
beberapa saat kemudian, pohon yang ditebang Ibnu tadi, akhirnya tumbang tanpa ada yang mengahalanginya, itu bertanda bahwa Perahu Sandeq yang hendak mereka buat, dapat melaju kencang dan membawa keberuntungan tanpa ada halangan.
“silahkan Kandi’, tebang pohong ini hingga jatuh!”. Perintah Pak Latif kepada Ibnu.
“iya kaka’, akan saya lakukan!”. Jawab ibnu.
beberapa saat kemudian, pohon yang ditebang Ibnu tadi, akhirnya tumbang tanpa ada yang mengahalanginya, itu bertanda bahwa Perahu Sandeq yang hendak mereka buat, dapat melaju kencang dan membawa keberuntungan tanpa ada halangan.
Setelah pohon itu tumbang, Pak Latif lalu mengambil
serpihan dan bilah kayu yang seharusnya ikut terpotong, tetapi menempel pada
sisa hasil tebangan pohon tadi, lalu ia membawa serpihan dan bilah kayu kecil
itu ketempat pohon bergeletak, dan ia menggunakannya untuk “membelai” batang
pohon,dari bagian yang dipotong sampai ujungnya.
Penebangan pohon pun selesai, Pak Latif lalu menentukan
ukuran kayu yang akan dijadikan sebagai panjang perahu, panjang ukuran yang
ditentukannya adalah 8 meter. Pada bagian bawah pohon Pak Latif menggunakannya
sebagai haluan, karena kuat dan daya apungnya sangat bagus.
Setelah hari memasuki senja, ia lalu melakukan tahap
akhir dalam pembuatan Perahu Sandeq, ia dan Ibnu pun membawa Perahu Sandeq yang
masih belum sempurna tersebut ke rumahnya, yang berdindingkan bambu dan
beralaskan butiran-butiran pasir, setelah sampai Pak Latif lalu meletakkannya
di battilang (tempat pembuatan perahu) yang berada di halaman rumahnya, setelah
itu, Pak Latif dan Ibnu melanjutkan proses pembuatan Perahu Sandeq yang masih
belum sempurna tersebut, dengan memasang pallayarang
(tiang layar utama), tambera (tali
penahan), sobal (layar), guling (kemudi), dan yang terakhir palatto (cadik), setelah pemasangan pallayarang, tambera, sobal, guling, dan palatto, Perahu Sandeq yang dibuatnya
kini menjadi sempurna, kuat dan kokoh dan siap untuk berlayar mengarungi
luasnya samudra.
Namun, sebelum berlayar, terlebih dahulu Pak Latif dan
kawannya Ibnu, mengadakan upacara yang mereka rangkaikan dengan pembacaan do’a
dan mantera, karena menurut masyarakat Mandar, pembuatan Perahu Sandeq tidak memerlukan
kemampuan kemampuan tekhnis saja, tetapi juga memerlukan kemampuan mistis.
Hal-hal mistis yang dapat dilihat dalam Perahu Sandeq adalah pada saat do’a
ungkapan-ungkapan yang digunakan. Adapun doa-doa dan pengungkapan yang sudah
digunakan Pak Latif dalam membuat perahunya diantaranya “Doa dan ungkapan untuk
membersihkan lokasi pohon yang ditebang, Doa dan ungkapan untuk melembekkan
pohon dengan cara membelai pohon, Doa dan ungkapan untuk meminta kesediaan
pohon untuk ditebang, Doa dan ungkapan untuk meminta izin kepada hutan untuk
mengambil pohon, Doa dan ungkapan untuk membawa pohon yang telah berbentuk
perahu keluar hutan dan doa ketika melepas perahu yang telah jadi ke laut. Doa
dan mantera pun sudah selesai, Pak Latif pun pergi berlayar untuk memburu
kawanan ikan Tuna yang sedang bermigrasi dengan menggunakan “Perahu Sandeq”
buatannya dengan kawannya Ibnu yang kuat, tangguh dan laju yang sangat kencang.
Pak Latif tidak hanya menggunakan “Perahu Sandeq” itu untuk menangkap kawanan
ikan, tetapi juga untuk mengikuti lomba adu kecepatan dan ketangguhan Perahu
Sandeq yang diselenggarakan oleh masyarakat mandar setiap tahunnya yaitu
“Sandeq Race”
Berbiacara tentang Perahu Sandeq, menurut masyarakat
Mandar itu bukan sekedar warisan nenek moyang, tapi Perahu Sandeq adalah
pengungkapan dari karakter Suku Mandar itu sendiri, sebut saja Pak Latif
seorang nelayan yang kuat dan tangguh, mampu mengalahkan ikan Hiu, yang banyak
memangsa nelayan yang sedang mencari ikan. Perahu Sandeq yang kuat dan tangguh
itu juga mengandung nilai-nilai luhur yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat Mandar, nilai nilai itu adalah
Pertama,
nilai religious. Pembuatan Perahu Sandeq merupakan salah satu bentuk ekspresi
pola keberagamaan masyarakat Mandar. Kepercayaan kepada hal-hal gaib yang
menguasai suatu tempat, melahirkan pola keberagamaan yang unik. Permohonan ijin
kepada
penghuni pohon, baik dengan membawa makanan yang diletakkan di bawah pohon maupun dengan membaca doa-doa dan membaca mantra, merupakan bentuk dari religiousitas orang Mandar. Keunikan pola keberagamaan orang Mandar juga dapat dilihat dari aneka macam ritual yang senantiasa dilakukan selama pembuatan perahu dan ketika Perahu Sandeq hendak dibawa melaut. Bagi para pengkaji keberagamaan masyarakat lokal, religiositas orang Mandar nampaknya dapat menjadi bahan kajian yang cukup menantang.
penghuni pohon, baik dengan membawa makanan yang diletakkan di bawah pohon maupun dengan membaca doa-doa dan membaca mantra, merupakan bentuk dari religiousitas orang Mandar. Keunikan pola keberagamaan orang Mandar juga dapat dilihat dari aneka macam ritual yang senantiasa dilakukan selama pembuatan perahu dan ketika Perahu Sandeq hendak dibawa melaut. Bagi para pengkaji keberagamaan masyarakat lokal, religiositas orang Mandar nampaknya dapat menjadi bahan kajian yang cukup menantang.
Kedua, nilai budaya. Keberadaan Perahu Sandeq merupakan
hasil dari cara orang-orang Mandar meresponkondisi alam di mana mereka tinggal.
Rintangan dan tantangan dari selat Mandar yang cukup dalam dan berarus deras,
disikapi oleh masyarakat dengan membuat perahu lancip menggunakan layar
berbentuk segitiga dengan ditambahi cadik pada kanan-kirinya. Hasilnya, sebuah
perahu yang tidak saja mampu membelah lautan yang cukup ganas dengan stabil,
tetapi juga melaju dengan kencang dan berlayar hingga ke mancanegara.
Ketiga, nilai identitas. Perahu Sandeq merupakan
pengejawantahan dari karakter orang Mandar itu sendiri. Pallayarang (tiang
layar utama) sebagai penentu utama kelajuan perahu merupakan simbol terpacunya
citacita kesejahteraan masyarakat. Orang-orang Mandar harus senantiasa berjuang
untuk menjaminterciptanya kesejahteraan. Perjuangan harus senantiasa
memperhatikan keseimbang agar tidak merugi, hal ini dapat dilihat pada tambera
(tali penahan pallayarang) yang senantiasa menjaga pallayarang agar tetap kokoh
tegak menjulang. Kekokohan dan keseimbangan harus juga diimbangi oleh sikap
fleksibel agar senantiasa mempunyai spirit untuk terus menjadi semakin baik,
hal ini dapat dilihat pada sobal (layar) berwarna putih berbentuk segitiga yang
merupakan simbol fleksibilitas yang tinggi, kegigihan, ketulusan dan kepolosan
orang mandar. Guling (kemudi) sebagai simbol ketepatan mengambil keputusan.
Palatto (cadik), baratang dan tadiq sebagai lambang penyeimbang dan pertahanan
serta memiliki jangkauan visi yang jauh menyongsong masa depan. Semua simbl
perjuangan dan keseimbangan tersebut berlandaskan kepada sifat kesucian serta
tekad yang tulus, sebagaimana yang tercermin pada warna Perahu Sandeq, yaitu
warna putih. Warna putih juga mempunyai maksud bahwa orang Mandar sangat
terbuka untuk menghadapi perubahan seperti disebutkan dalam sebuah ungkapan
”ibannang pute meloq dicinggaq meloq dilango lango”.
Ketiga nilai tersebut secara jelas menunjukkan bahwa
Perahu Sandeq merupakan pengejawantahan dari kearifan lokal dan pembentuk
identitas masyarakat Mandar. Oleh karenya, upaya pelestarian Perahu Sandeq
harus segera di lakukan agar jati diri orang Mandar dapat terus lestari. Namun
juga harus disadari bahwa pelesatarian tidak saja sekedar menjaga Perahu Sandeq
secara fisik, tetapi juga merevitalisasi nilainilai yang terkandung di
dalamnya, sehingga kita, khususnya orang Mandar, dapat terus berkata ”NENEK MOYANGKU
SEORANG PELAUT”
SELESAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar